Tak sengaja mataku menangkap siluet seorang bapak-bapak yang kalo aku taksir umurnya sekitar 50 tahun. Dia sedang tertidur, bersandar pada pagar di seberang rumahku. Sepeda ontel yang memuat sebuah kursi rotan besar bertengger di sebelahnya.
Aku masuk ke rumah untuk meneruskan aktivitas memasak nasi goreng, tapi pikiranku tak bisa beranjak dari si bapak. Setelah selesai, aku mematikan kompor dan segera mendatanginya. Matanya masih terpejam. Lelap.
Suasana hiruk-pikuk di luar tidak mampu membangunkan tidur si bapak. Aku memberanikan diri mengusik tidurnya. Bapak itu masih terlelap ketika panggilan yang ketiga kali pun tak kuasa membangunkannya.
Aku tunggu sampai beberapa menit.
Kupandang kerutan di wajahnya dan handuk yang melingkar di leher. Aku trenyuh. Kutepuk pundaknya dan akhirnya bapak itu mengangkat kepala yang -mungkin- terasa berat.
"Sudah makan, Pak? Mari Pak mampir ke rumah, saya baru saja goreng nasi..." kataku yang disambut dengan senyum sumringahnya.
Aku masuk ke rumah untuk meneruskan aktivitas memasak nasi goreng, tapi pikiranku tak bisa beranjak dari si bapak. Setelah selesai, aku mematikan kompor dan segera mendatanginya. Matanya masih terpejam. Lelap.
Suasana hiruk-pikuk di luar tidak mampu membangunkan tidur si bapak. Aku memberanikan diri mengusik tidurnya. Bapak itu masih terlelap ketika panggilan yang ketiga kali pun tak kuasa membangunkannya.
Aku tunggu sampai beberapa menit.
Kupandang kerutan di wajahnya dan handuk yang melingkar di leher. Aku trenyuh. Kutepuk pundaknya dan akhirnya bapak itu mengangkat kepala yang -mungkin- terasa berat.
"Sudah makan, Pak? Mari Pak mampir ke rumah, saya baru saja goreng nasi..." kataku yang disambut dengan senyum sumringahnya.