“Siapa pun yang
mengatakan waktu bisa menyembuhkan semua luka, huh, ia berani bertaruh, orang
itu pasti belum pernah mengalami apa yang ia rasakan.”
Ketika membaca naskah mentah Everlasting, aku bener-bener nggak bisa berhenti. Penasaran terus. Walaupun alurnya tidak begitu cepat, tapi penulis pinter mengikat pembaca buat nggak naruh bukunya kecuali terpaksa (Nanti aku mau nanya ke Mbak Ayu Gabriel bagaimana caranya membuat joke-joke yang renyah dan nggak garing. Ingatkan aku ya!).
Ketika membaca naskah mentah Everlasting, aku bener-bener nggak bisa berhenti. Penasaran terus. Walaupun alurnya tidak begitu cepat, tapi penulis pinter mengikat pembaca buat nggak naruh bukunya kecuali terpaksa (Nanti aku mau nanya ke Mbak Ayu Gabriel bagaimana caranya membuat joke-joke yang renyah dan nggak garing. Ingatkan aku ya!).
Naskah lengkap ini juga
dibaca oleh satu editor lainnya, sebut saja namanya Tikah Kumala, dan tanpa
perdebatan sengit (bener-bener nggak pakai debat kusir dan adu argumen—seolah
sudah sewajarnya memang naskah ini terbit), kami sepakat untuk menerbitkan
novel “Everlasting” ini. YEAY!
Akhirnya novel ini
masuk jadwal edit bulan Desember 2013 kemarin. Ketika naskah mulai diedit,
aku sampai kebingungan, “Aku kudu apain ini novel? Udah bagus gini?”. Bahkan,
niat awalnya aku mau pangkas jadi 210 halaman saja (Naskah asli setebal 237
halaman A4), aku bener-bener nggak bisa. Satu bagian saling berkaitan dengan
bagian lain. Satu kejadian saling terhubung dengan kejadian lain. Kalau aku
pangkas bagian ini, bagian yang ono harus ikut diedit konten juga. Akhirnya,
aku cuma membuang sedikit-seikit aja adegan-adegan yang tidak begitu penting.
Parahnya lagi, walaupun sebenarnya itu adegan tambahan yang menjelaskan detail-detail
kecil, semuanya dikemas lucu. Dialognya bener-bener fresh sampai aku sayang
untuk membuangnya. Akhirnya ya, dipertahankan! J