Wanita dengan seribu mimpi.
Mungkin itulah julukan yang pas buatku. Deretan panjang impian yang pernah
mampir dalam pikiran dan benakku adalah mimpi sebagai dokter jiwa ketika usiaku
masih SD. Kemudian berganti menjadi jurnalis ketika seragam putih-merahku
berganti menjadi putih-biru. Dan, oke, ternyata cita-cita itu pun kandas tanpa
sisa ketika rok biruku sudah berganti menjadi abu-abu. Setelah itu, aku sangat
menginginkan profesi sebagai seorang pemandu wisata dan dengan PD-nya aku minta
dipindahkan dari Kelas 3 IPA ke Kelas 3 Bahasa waktu SMA dulu.
Di kelas Bahasalah,
aku belajar sedikit bahasa Prancis dan aku langsung jatuh cinta dengan bahasa
yang katanya paling romantis itu. Akhirnya, aku meneruskan kuliah dengan
mengambil jurusan Sastra Prancis, program Diploma 3. Harapanku waktu itu, dengan
memilih program Diploma 3, aku bisa cepat bekerja. Aku menghabiskan 3 tahunku
di fakultas Sastra UNPAD, Bandung. Semasa kuliah itu, cita-citaku berubah lagi.
Aku ingin menjadi seorang penerjemah bahasa Prancis, menjadi dosen, dan yang
paling aku ingat, aku pun menginginkan profesi sebagai editor in chief di sebuah majalah wanita. Impian ini muncul berkat kecintaanku membaca buku dan
majalah-majalah wanita sedari SMA. Sungguh, aku ingin bekerja di media, berkumpul dengan wanita-wanita
kreatif dan dinamis.
Sampai kemudian aku
lulus pada tahun 2002. Ternyata, nasib berkata lain. Setelah satu tahun
meninggalkan pekerjaan sebagai staf administrasi di salah satu perusahaan
ekspor-impor di Bogor. Akhirnya, aku diterima di sebuah perusahaan
multinasional yang berkantor di Harmoni, Jakarta Pusat. Perusahaan itu punya
beberapa divisi, antara lain: Divisi IT, Divisi Manajemen Mutu, Divisi Healtcare, Divisi Food and
Baverage, dst. Dengan divisi sebanyak itu, tentu banyak posisi yang
ditawarkan. Tapi, aku (hanya) diterima dengan jabatan sebagai seorang waitresse. OMG, dengan cita-citaku yang
muluk-muluk itu, akhirnya aku dengan pasrah duduk di sini, di sebuah kafe yang
menyediakan menu breakfast dan lunch, melayani karyawan-karyawati
kompleks perkantoran tersebut setiap hari. Jam kerjaku pun seperti layaknya
pekerja kantor. Dari jam 8 sampai jam 5 sore, dengan hari libur Sabtu dan
Minggu. Saat itu, aku dengan ikhlas mengucapkan selamat tinggal kepada dokter
jiwa, jurnalis, penerjemah, pemandu wisata,
dosen dan editor in chief. Good bye, all! Aku mau melayani tamu
dulu.
Setahun aku bekerja
sebagai waitresse. Susah senang aku
rasakan bersama kelima sahabatku yang sudah aku anggap sebagai sebuah keluarga.
Aku sangat menikmati hidup kala itu, walaupun gajiku hanya cukup untuk naik bus
kota pulang-pergi dan makan selama sebulan. Akhirnya aku mencari tambahan
penghasilan. Dengan penuh semangat aku menyebarkan brosur “Les Privat Bahasa
Inggris” di play group yang letaknya
tidak jauh dari tempat tinggalku di daerah Cijantung (aku menumpang di tempat
saudara). Tak disangka, aku mendapat banyak murid. Bahkan, penghasilanku dari
memberikan les privat ini jauh lebih besar dari gaji bulananku. Meskipun dengan pekerjaan tambahan
ini, aku harus merelakan hari liburku untuk tetap bekerja, tapi aku ikhlas.
Masih banyak mimpi yang harus kugapai di depan sana, aku harus meneruskan
kuliah lagi agar mendapat pekerjaan yang lebih bagus, begitu pikirku. Yang
jelas, tugasku sekarang adalah mengumpulkan uang, tanpa keluh. Setiap akhir
bulan, aku
bisa menyisihkan uang untuk menabung, mengirim uang saku untuk adikku yang masih kuliah di Jogja dan sebagian lagi aku belanjakan
untuk membeli buku-buku dan majalah kesayangan. Mimpiku untuk bekerja di media
semakin besar semenjak aku menonton film The
Devil Wears Prada. Aku memutarnya berkali-kali dan membaca novelnya puluhan kali untuk
terus memupuk semangatku.
Saat itu perusahaan
induk akan mengadakan acara akbar, yaitu sebuah konferensi internasional dengan
tamu Prancis sebagai pembicaranya. Tiba-tiba aku diundang oleh Ibu Eliza, sang
direktur utama perusahaan tersebut, untuk menemuinya. Deg-degan luar biasa
waktu itu, beliau adalah anak salah satu menteri yang cukup terkenal sampai
sekarang.
Ucluk.. ucluk.. ucluk...
Aku menemui beliau
dengan seragam pelayan kebanggaanku, lengkap dengan appron yang masih menempel dengan cantiknya di pinggangku.
“Dewi, kamu tahu
kan minggu depan kita akan ada
acara besar?” kata si Ibu dengan suaranya yang sangat berkelas. Aku mengangguk
sopan.
“Aku dengar bahasa
Prancis kamu bagus. Nanti tolong kamu bantu di meja tamu sebagai penerjemah ya.
Terus, kalau konferensi udah mulai, kamu temani istri salah satu pembicara itu
jalan-jalan. Biar dia gak bosen.” Kata Bu Eliza sambil memainkan pulpennya.
“Oh, baik Bu.”
Sekali lagi aku mengangguk, lebih sopan dari sebelumnya.
“Oke deh kalau
gitu. Besok jam 1 ikut meeting dengan
kami ya!” sambungnya dengan bahasa tubuh yang seolah mengatakan “Ya udah sana kamu pergi”.
Hari itu pun tiba.
Aku mengganti appron kesayangan
dengan setelan blazer dan stiletto
yang
baru aku beli. Langkahku semakin tegap menyambut tamu-tamu yang datang, tak
lupa senyum lebar terus tersungging di bibirku. Pokoknya, aku mengerahkan seluruh
kemampuanku. Aku benar-benar akan maksimal melayani tamu-tamu tersebut demi
dedikasiku ke kantor tempatku bekerja. Dan, syukurlah semuanya berjalan lancar.
Hari terakhir konferensi, aku ditelepon Bu Eliza untuk ikut makan di acara farewell party.
Akhirnya, aku yang
saat itu masih berstatus sebagai pelayan kafe. Duduk berdampingan dengan salah
satu direktur sukses di Jakarta, dengan professor-professor senior salah satu
universitas bergengsi di Prancis, dengan istri menteri, dan juga masih banyak
“orang penting” lain. Kami makan dengan suasana penuh canda. Tak disangka,
Juliette–turis Prancis yang aku layani
selama dua hari–terus memuji kinerjaku yang katanya sangat bagus. Aku hanya
bisa mengucapkan syukur di dalam hati. Sekilas aku melirik Bu Eliza dan dia
melempar senyum bungah kepadaku.
Seminggu setelah
acara usai, aku langsung dipindahkan dari Divisi Food and Baverage ke Divisi Manajeman Mutu dengan jabatan baru
sebagai sekretaris. Dengan jabatan baru ini, aku semakin sering bepergian ke
luar kota. Kemudian, ketika perusahaan membuka cabang di Jogjakarta pada tahun
2006, aku ditugaskan ke kota itu untuk membantu persiapan grand opening. Setengah tahun, aku menetap di Jogja untuk mengurus
semua persiapannya. Setelah kantor baru resmi dibuka. Tak disangka, aku juga
mendapat tugas baru lagi. Aku ditempatkan dengan jabatan baru sebagai asisten
manajer keuangan.
WHAAAAAAAAAT?
K-E-U-A-N-G-A-N? Aku benar-benar kaget. Aku yang tidak punya background apapun tentang dunia
hitung-menghitung harus meng-handle
pekerjaan sebagai asisten manajer keuangan?
“Mencari orang
pintar itu gampang, tapi cari orang yang dapat dipercaya, itu yang susah.”
Begitu kata Bu Eliza. Aku pun menerima tantangan itu dengan terus berpikir, “Bagaimana caranya agar aku bisa menjadi
orang pintar dan dapat dipercaya?” J Akhirnya, aku
mengambil kursus Akuntansi, baca buku-buku Akuntansi, mencari info di internet
tentang berbagai permasalahan yang aku temui di tempat kerja, dan seterusnya.
Hingga suatu hari, ketika aku sudah mulai menikmati pekerjaan itu. Branch manager yang sepertinya kurang
suka dengan keberadaanku nyeletuk,
“Mana mungkin anak D3 Sastra bisa mengerjakan laporan keuangan? Kalau diaudit
gimana? Malu-maluin! Moso bagian
keuangan kok lulusan Sastra!!” katanya sambil berlalu.
PLAAAAAAAAAAAAK!!
Aku seperti menerima sebuah tamparan pedas. Apalagi waktu itu, dia berbicara di
depan banyak karyawan, dan aku tidak berani membantah. Saat itu, aku sesumbar. Aku tidak terima dikatakan
seperti itu. Aku bersumpah dalam hati, oneday,
aku harus jadi Akuntan, aku gak mau diremehkan lagi seperti ini.
Esok harinya, aku
langsung mencari informasi ke UGM, apakah ada program ekstensi Akuntansi.
Ternyata ada. Aku harus melewati tes penyaringan sebulan lagi. Membaca lagi,
belajar lagi. Begitulah aku menghabiskan waktu untuk mempersiapkan tes
penyaringan tersebut selama satu bulan penuh. Dan syukurlah, aku diterima. Tahun 2007, aku
menjalani hari-hari tersibuk. Siang sampai sore, kerja. Sore sampai malam,
kuliah. Dan malam sampai larut, maen. Hehe. Untuk membiayai kuliahku ini, aku
mengambil uang tabungan yang selama ini sudah kukumpulkan. Sesaat, aku teringat
lagi mimpiku untuk bekerja di media. Kenapa aku malah terjebak di sini? Di Jurusan Akuntansi? Tapi kemudian, aku menghibur diri sendiri bahwa
aku pun bisa tetap bekerja di media dengan posisi finance.
Satu tahun kuliah,
uang di rekening mulai menipis. Aku berpikir untuk mengumpulkan uang lagi. Aku
tidak mau merepotkan orang tua untuk membiayai kuliahku ini. Akhirnya aku
membuka bisnis laundry untuk tambahan
penghasilan. Lagi-lagi, aku pakai hari liburku untuk bekerja sampingan. Aku
ikut mengurus laundry ini karena dua
orang pegawaiku libur bergantian pada hari Sabtu dan Minggu. Tak jarang pula
aku ikut mencuci atau menyetrika baju. Tapi, tak pernah sedikit pun aku
mengeluhkan hal ini. Aku malah bersyukur selalu diberi kemudahan mencari rezeki.
Dan, akhirnya aku
bisa lulus tepat waktu. Selepas kuliah, awal tahun 2010, aku diterima di UGM
menjadi manajer keuangan di salah satu proyek yang didanai World Bank. Akhirnya, aku meninggalkan perusahaan yang telah
“membesarkanku” selama enam tahun ini dan menjalani tantangan di tempat baru.
Mungkin karena
terbiasa sibuk sampai malam, aku merasakan ada sesuatu yang hilang ketika
setiap sore tidak ada hal lain yang bisa kukerjakan kecuali iseng-iseng nulis di blog dan baca buku sepuasnya. Aku jadi sering mendatangi
acara-acara seni dan bedah buku untuk mengisi waktu luang. Bertemu dengan
komunitas baru, menjalin relasi dan pertemanan dengan orang-orang buku membuatku tambah menyukai dunia buku ini.
Sampai kemudian aku ditawari oleh seseorang untuk menjadi editor freelance di tempatnya. Aku tidak
menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku bisa bekerja sore sampai malam dan tidak
harus stand by di kantor penerbitan
tersebut. Sangat menyenangkan!
Tidak lama setelah
aku bekerja padanya, dia malah mengajakku diskusi tentang dunia penerbitan.
Katanya, dengan latar pendidikan Sastra dan pengetahuan Akuntansi yang aku
miliki, ditambah dengan kecintaanku di dunia tulis-menulis, bisnis penerbitan
sangat cocok untukku.
“Kenapa kamu gak
bikin penerbitan aja?” tanyanya suatu hari, “Kamu kan juga punya bakat
wirausaha? Aku yakin, kamu pasti sukses kalau buka penerbitan,” sambungnya
lagi.
Pertanyaannya
benar-benar aku pikirkan. Masih lekat dalam ingatanku tentang mimpiku menjadi
seorang editor in chief di sebuah media.
Dan, dengan membuat penerbitan, aku
bisa mewujudkan impianku tersebut, meskipun meleset dikit, hehe. Akhinya, aku banyak berdiskusi dengannya
tentang industri penerbitan, bagaimana sistem kerjanya, proses produksi, dan
segala tetek-bengeknya. Aku benar-benar
merasa excited dengan dunia buku ini.
Alangkah senangnya jika benar suatu saat aku punya sebuah penerbitan. Selama
ini, menulis dan membaca adalah hobby-ku,
maka alangkah beruntungnya jika hobby ini
mendatangkan kepuasan, baik material maupun imaterial.
Selama satu tahun
itu aku membuat konsep, menyusun rencana bisnis, mengumpulkan modal dan mulai
mencari formula yang cocok untuk penerbitanku kelak. Melalui banyak
pertimbangan, akhirnya aku menemukan konsep yang pas untuk penerbitanku. Sebuah
penerbitan yang akan aku beri nama Stiletto Book, penerbit buku yang
mengkhususkan diri menerbitkan buku-buku bertema perempuan dengan high heels (yang dalam bahasa mode
sering disebut stiletto) sebagai
logonya.
Akhir 2010, Aku
menjual aset laundry-ku karena tekad
untuk membuat penerbitan sudah bulat. Sudah banyak rencana kususun. Banyak
mimpi kudekap dan banyak cinta kukumpulkan untuk memulainya. Tepat 1 Januari 2011, aku resmi
mendirikan Penerbit Stiletto Book melalui sebuah syukuran kecil. Belum ada karyawan waktu itu,
aku pun masih bertahan kerja di UGM karena belum berani gambling untuk menggantungkan hidup dari usaha tersebut. Dan, kerja
karas kumulai lagi. Nine to five aku
bekerja di kantor mengurus keuangan. Sesampainya di rumah, dari jam 8 malam
sampai jam 1 dini hari aku mengurus penerbitan. Dari mulai membuat blog, mencari naskah, promosi-promosi,
dan lain sebagainya. Semua aku lakukan dengan penuh semangat yang meluap-luap.
Pelan tapi pasti,
bulan Maret buku pertama terbit, disusul kemudian bulan April, dan bulan-bulan
berikutnya Stiletto terus melahirkan buku-buku cantik untuk perempuan. Aku masih mengurus semuanya
seorang diri. Memilih naskah, menyiapkan MoU, editing, mencari layouter,
desain cover, menjalin hubungan dengan percetakan, distributor, dan mitra-mitra
lain. Selama 6 bulan aku mengerjakan pekerjaan ini dengan tidak meninggalkan
statusku sebagai karyawan. Lelah? Pasti! Tapi semua perasaan lelah dan capek
itu menguap dan berganti menjadi semangat yang tak terkira ketika aku ingat
lagi bahwa mimpiku bersama Stiletto Book sudah menunggu untuk segera kugapai.
Setelah 9 tahun menjadi kutu loncat sebagai karyawan. Juli 2011,
aku keluar dari kantorku dan menyandang status baru sebagai wirausaha. Aku
bangga dan sangat menikmati kehidupanku. Sekarang, aku sudah memiliki 2 pegawai
tetap dan beberapa pegawai freelance.
Desember kemarin, aku sempat masuk menjadi 8 finalis womenpreneur yang diadakan oleh Majalah Sekar dan berangkat ke
Jakarta untuk berkumpul dengan para wanita luar biasa. Profilku bersama
Stiletto Book pun bulan Januari ini muncul di Majalah Sekar. Ini sebuah
pencapaian luar biasa buatku sebagai pengusaha pemula.
Terima kasih Tuhan, sekarang aku di
sini sedang terus berusaha memupuk mimpiku bersama Stiletto Book. Tak pernah
lelah berusaha dan berdoa agar kelak semua mimpi ini bisa kuraih. Terima kasih
juga untuk banyak tangan yang telah membantuku, terutama
untuk suamiku yang sudah memperkenalkan dunia baru yang begitu memesona ini.
Ya, orang yang dari tadi aku ceritakan di atas adalah Paul, seseorang yang kemudian menjadi
suamiku. Ternyata, untuk
urusan jodoh pun, aku “dipertemukan” melalui buku. J
Mari teman. Jangan lelah menggapai mimpimu. Ingat kata Paulo Coelho “Ketika kita punya mimpi dengan teramat
sangat, maka seluruh alam akan bahu membahu mewujudkan keiangan kita tersebut.”
Kisah tersebut ada dalam buku "A Cup of Tea - Menggapai Mimpi" bersama 19 kisah nyata dari 19 penulis. Baca gih, jangan salahkan aku kalau setelah selesai baca buku ini jadi tambah semangat mengejar mimpi. ^^
Judul: A Cup Of Tea – Menggapai Mimpi
Penyusun: Herlina P. Dewi dan Reni Erina
Pemberi komentar/renungan: Faiz Hayaza’ (Psikolog dan Motivator)
Tebal: 220 halaman
Harga: 40.000
Sinopsis:
Setiap orang punya cara dan jalan untuk menggapai mimpinya. Untuk itulah “A Cup of Tea - Menggapai Mimpi” hadir, mempersembahkan kisah inspiratif yang diuraikan oleh 20 penulis. Di dalam buku ini, ada banyak suntikan motivasi yang layak untuk kita serap. Persoalan demi persoalan, kendala yang menghadang, serta kekurangan di sana-sini, adalah bagian dari proses yang harus dilewati.
Semua mencoba berbagi kisah agar bisa berguna bagi orang lain. Semangat, tekad dan kerja keras yang melahirkan kekuatan adalah persembahan motivasi bagi pembaca sekalian. Dan mungkin kita tak menyadari, bahwa kekuatan mimpi bisa begitu dahsyatnya.
Kontributor:
Al Ninezia - Anya Rey - Dewi Muliyawan - Drg. Deasy Rosalina - Dwi Rahmawati - Etyastari Soeharto - Evi Sri Rezeki - Glenn Alexei - Harry Gunawan - Kartika Setianingrum - Lucya Chriz - Meilina Widyawati - Ni Made Rimawati - Novi Nine - Sofia Orlando - Venny Mandasari - Weni Mardi Waluyani - Yoana Dianika
Testimoni:
"Buku yang luar biasa ini menuturkan dengan sangat menyentuh tentang bagaimana banyak hati berdamai dengan keterbatasan dan melahirkan energi dahsyat untuk mengubah keadaan. Kisah-kisah dengan ragam latar belakang yang hadir di sini, akan membuka hati kita untuk melihat dunia sebagai lahan harapan yang tak habis-habis." (Alberthiene Endah, Penulis)
"Ada usaha keras di balik setiap mimpi. Karena mimpi yang membuat hidup jadi lebih bermakna, beranilah bermimpi setinggi mungkin. Seperti 18 (+2) perempuan hebat nan inspiratif di buku indah ini." (Brilyantini, Editor in Chief Majalah Sekar)
Buku yang menarik
BalasHapusYes! :) Dibeli ya, sudah tersedia juga di Gramedia Medan ^^
Hapusterima kasih atas informasinya untuk menjadi referensi buku saya :)
BalasHapusMakasih. Happy hunting & happy reading, ya..:)
Hapus