02 Mei 2014

Behind The Book "EVERLASTING"

 “Siapa pun yang mengatakan waktu bisa menyembuhkan semua luka, huh, ia berani bertaruh, orang itu pasti belum pernah mengalami apa yang ia rasakan.”

Ketika membaca naskah mentah Everlasting, aku bener-bener nggak bisa berhenti. Penasaran terus. Walaupun alurnya tidak begitu cepat, tapi penulis pinter mengikat pembaca buat nggak naruh bukunya kecuali terpaksa (Nanti aku mau nanya ke Mbak Ayu Gabriel bagaimana caranya membuat joke-joke yang renyah dan nggak garing. Ingatkan aku ya!).

Naskah lengkap ini juga dibaca oleh satu editor lainnya, sebut saja namanya Tikah Kumala, dan tanpa perdebatan sengit (bener-bener nggak pakai debat kusir dan adu argumen—seolah sudah sewajarnya memang naskah ini terbit), kami sepakat untuk menerbitkan novel “Everlasting” ini. YEAY!

Akhirnya novel ini masuk jadwal edit bulan Desember 2013 kemarin. Ketika naskah mulai diedit, aku sampai kebingungan, “Aku kudu apain ini novel? Udah bagus gini?”. Bahkan, niat awalnya aku mau pangkas jadi 210 halaman saja (Naskah asli setebal 237 halaman A4), aku bener-bener nggak bisa. Satu bagian saling berkaitan dengan bagian lain. Satu kejadian saling terhubung dengan kejadian lain. Kalau aku pangkas bagian ini, bagian yang ono harus ikut diedit konten juga. Akhirnya, aku cuma membuang sedikit-seikit aja adegan-adegan yang tidak begitu penting. Parahnya lagi, walaupun sebenarnya itu adegan tambahan yang menjelaskan detail-detail kecil, semuanya dikemas lucu. Dialognya bener-bener fresh sampai aku sayang untuk membuangnya. Akhirnya ya, dipertahankan! J

23 Maret 2014

Five years to remember: Hidup untuk Mengenangmu


“Ketika hidup terasa sebagai sebuah perulangan. Di situ mati merupakan peralihan yang membebaskan.”

Lima tahun lalu, 23 Maret 2009, adalah hari paling berat dalam hidupku. Seorang adik sepupuku meninggal dalam sebuah kecelakaan tabrak lari. Dan sampai sekarang peristiwa itu seolah terkubur bersama dengan jasadnya, di sudut kota Wonosobo sana, kota kecil kelahiran kami.

Dedi Kurniawan, begitu nama lengkapnya. Umur kami hanya selisih dua tahun. Kami menghabiskan masa kecil bersama di salah satu kampung di daerah Wonosobo. Lima tahun lalu, 22 Maret 2009 pukul 23.15 WIB, aku mendapatkan SMS darinya. Waktu itu dia sudah menjadi seorang polisi dengan pangkat Briptu, sedangkan aku sudah bekerja di Jogjakarta dan tinggal di kosan. Dia ditugaskan di daerah Tegal. Entah di polres, polsek atau apa, aku nggak mudeng.

“Mbaaaaaaaaaaak.....” Begitu bunyi SMS-nya.
Aku pun langsung membalas, “Kenapa malem2 teriak2? Lagi mumet ya?”
Beberapa menit kemudian, dia membalas lagi, “Haha, nggak. Mau konsultasi spiritual nih.”
 Kubalas singkat, “Kenapa? Putus cinta?”
“Nope! Lagi nggak mikirin itu. Ini masalah hidup.” Katanya lagi di SMS-nya.