14 Februari 2012

Woman with a Thousand Dreams (A Cup Of Tea - Menggapai Mimpi)


Wanita dengan seribu mimpi. Mungkin itulah julukan yang pas buatku. Deretan panjang impian yang pernah mampir dalam pikiran dan benakku adalah mimpi sebagai dokter jiwa ketika usiaku masih SD. Kemudian berganti menjadi jurnalis ketika seragam putih-merahku berganti menjadi putih-biru. Dan, oke, ternyata cita-cita itu pun kandas tanpa sisa ketika rok biruku sudah berganti menjadi abu-abu. Setelah itu, aku sangat menginginkan profesi sebagai seorang pemandu wisata dan dengan PD-nya aku minta dipindahkan dari Kelas 3 IPA ke Kelas 3 Bahasa waktu SMA dulu.
Di kelas Bahasalah, aku belajar sedikit bahasa Prancis dan aku langsung jatuh cinta dengan bahasa yang katanya paling romantis itu. Akhirnya, aku meneruskan kuliah dengan mengambil jurusan Sastra Prancis, program Diploma 3. Harapanku waktu itu, dengan memilih program Diploma 3, aku bisa cepat bekerja. Aku menghabiskan 3 tahunku di fakultas Sastra UNPAD, Bandung. Semasa kuliah itu, cita-citaku berubah lagi. Aku ingin menjadi seorang penerjemah bahasa Prancis, menjadi dosen, dan yang paling aku ingat, aku pun menginginkan profesi sebagai editor in chief di sebuah majalah wanita. Impian ini muncul berkat kecintaanku membaca buku dan majalah-majalah wanita sedari SMA. Sungguh, aku ingin bekerja di media, berkumpul dengan wanita-wanita kreatif dan dinamis.

Sampai kemudian aku lulus pada tahun 2002. Ternyata, nasib berkata lain. Setelah satu tahun meninggalkan pekerjaan sebagai staf administrasi di salah satu perusahaan ekspor-impor di Bogor. Akhirnya, aku diterima di sebuah perusahaan multinasional yang berkantor di Harmoni, Jakarta Pusat. Perusahaan itu punya beberapa divisi, antara lain: Divisi IT, Divisi Manajemen Mutu, Divisi Healtcare, Divisi Food and Baverage, dst. Dengan divisi sebanyak itu, tentu banyak posisi yang ditawarkan. Tapi, aku (hanya) diterima dengan jabatan sebagai seorang waitresse. OMG, dengan cita-citaku yang muluk-muluk itu, akhirnya aku dengan pasrah duduk di sini, di sebuah kafe yang menyediakan menu breakfast dan lunch, melayani karyawan-karyawati kompleks perkantoran tersebut setiap hari. Jam kerjaku pun seperti layaknya pekerja kantor. Dari jam 8 sampai jam 5 sore, dengan hari libur Sabtu dan Minggu. Saat itu, aku dengan ikhlas mengucapkan selamat tinggal kepada dokter jiwa, jurnalis, penerjemah, pemandu wisata, dosen dan editor in chief. Good bye, all! Aku mau melayani tamu dulu.
Setahun aku bekerja sebagai waitresse. Susah senang aku rasakan bersama kelima sahabatku yang sudah aku anggap sebagai sebuah keluarga. Aku sangat menikmati hidup kala itu, walaupun gajiku hanya cukup untuk naik bus kota pulang-pergi dan makan selama sebulan. Akhirnya aku mencari tambahan penghasilan. Dengan penuh semangat aku menyebarkan brosur “Les Privat Bahasa Inggris” di play group yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggalku di daerah Cijantung (aku menumpang di tempat saudara). Tak disangka, aku mendapat banyak murid. Bahkan, penghasilanku dari memberikan les privat ini jauh lebih besar dari gaji bulananku. Meskipun dengan pekerjaan tambahan ini, aku harus merelakan hari liburku untuk tetap bekerja, tapi aku ikhlas. Masih banyak mimpi yang harus kugapai di depan sana, aku harus meneruskan kuliah lagi agar mendapat pekerjaan yang lebih bagus, begitu pikirku. Yang jelas, tugasku sekarang adalah mengumpulkan uang, tanpa keluh. Setiap akhir bulan, aku bisa menyisihkan uang untuk menabung, mengirim uang saku untuk adikku yang masih kuliah di Jogja dan sebagian lagi aku belanjakan untuk membeli buku-buku dan majalah kesayangan. Mimpiku untuk bekerja di media semakin besar semenjak aku menonton film The Devil Wears Prada. Aku memutarnya berkali-kali dan membaca novelnya puluhan kali untuk terus memupuk semangatku.
Saat itu perusahaan induk akan mengadakan acara akbar, yaitu sebuah konferensi internasional dengan tamu Prancis sebagai pembicaranya. Tiba-tiba aku diundang oleh Ibu Eliza, sang direktur utama perusahaan tersebut, untuk menemuinya. Deg-degan luar biasa waktu itu, beliau adalah anak salah satu menteri yang cukup terkenal sampai sekarang.
Ucluk.. ucluk.. ucluk...
Aku menemui beliau dengan seragam pelayan kebanggaanku, lengkap dengan appron yang masih menempel dengan cantiknya di pinggangku.
“Dewi, kamu tahu kan minggu depan kita akan ada acara besar?” kata si Ibu dengan suaranya yang sangat berkelas. Aku mengangguk sopan.
“Aku dengar bahasa Prancis kamu bagus. Nanti tolong kamu bantu di meja tamu sebagai penerjemah ya. Terus, kalau konferensi udah mulai, kamu temani istri salah satu pembicara itu jalan-jalan. Biar dia gak bosen.” Kata Bu Eliza sambil memainkan pulpennya.
“Oh, baik Bu.” Sekali lagi aku mengangguk, lebih sopan dari sebelumnya.
“Oke deh kalau gitu. Besok jam 1 ikut meeting dengan kami ya!” sambungnya dengan bahasa tubuh yang seolah mengatakan “Ya udah sana kamu pergi”.
Hari itu pun tiba. Aku mengganti appron kesayangan dengan setelan blazer dan stiletto yang baru aku beli. Langkahku semakin tegap menyambut tamu-tamu yang datang, tak lupa senyum lebar terus tersungging di bibirku. Pokoknya, aku mengerahkan seluruh kemampuanku. Aku benar-benar akan maksimal melayani tamu-tamu tersebut demi dedikasiku ke kantor tempatku bekerja. Dan, syukurlah semuanya berjalan lancar. Hari terakhir konferensi, aku ditelepon Bu Eliza untuk ikut makan di acara farewell party.
Akhirnya, aku yang saat itu masih berstatus sebagai pelayan kafe. Duduk berdampingan dengan salah satu direktur sukses di Jakarta, dengan professor-professor senior salah satu universitas bergengsi di Prancis, dengan istri menteri, dan juga masih banyak “orang penting” lain. Kami makan dengan suasana penuh canda. Tak disangka, Juliette–turis Prancis yang aku  layani selama dua hari–terus memuji kinerjaku yang katanya sangat bagus. Aku hanya bisa mengucapkan syukur di dalam hati. Sekilas aku melirik Bu Eliza dan dia melempar senyum bungah kepadaku.
Seminggu setelah acara usai, aku langsung dipindahkan dari Divisi Food and Baverage ke Divisi Manajeman Mutu dengan jabatan baru sebagai sekretaris. Dengan jabatan baru ini, aku semakin sering bepergian ke luar kota. Kemudian, ketika perusahaan membuka cabang di Jogjakarta pada tahun 2006, aku ditugaskan ke kota itu untuk membantu persiapan grand opening. Setengah tahun, aku menetap di Jogja untuk mengurus semua persiapannya. Setelah kantor baru resmi dibuka. Tak disangka, aku juga mendapat tugas baru lagi. Aku ditempatkan dengan jabatan baru sebagai asisten manajer keuangan.
WHAAAAAAAAAT? K-E-U-A-N-G-A-N? Aku benar-benar kaget. Aku yang tidak punya background apapun tentang dunia hitung-menghitung harus meng-handle pekerjaan sebagai asisten manajer keuangan?
“Mencari orang pintar itu gampang, tapi cari orang yang dapat dipercaya, itu yang susah.” Begitu kata Bu Eliza. Aku pun menerima tantangan itu dengan terus berpikir, Bagaimana caranya agar aku bisa menjadi orang pintar dan dapat dipercaya? J Akhirnya, aku mengambil kursus Akuntansi, baca buku-buku Akuntansi, mencari info di internet tentang berbagai permasalahan yang aku temui di tempat kerja, dan seterusnya. Hingga suatu hari, ketika aku sudah mulai menikmati pekerjaan itu. Branch manager yang sepertinya kurang suka dengan keberadaanku nyeletuk, “Mana mungkin anak D3 Sastra bisa mengerjakan laporan keuangan? Kalau diaudit gimana? Malu-maluin! Moso bagian keuangan kok lulusan Sastra!!” katanya sambil berlalu.
PLAAAAAAAAAAAAK!! Aku seperti menerima sebuah tamparan pedas. Apalagi waktu itu, dia berbicara di depan banyak karyawan, dan aku tidak berani membantah. Saat itu, aku sesumbar. Aku tidak terima dikatakan seperti itu. Aku bersumpah dalam hati, oneday, aku harus jadi Akuntan, aku gak mau diremehkan lagi seperti ini.
Esok harinya, aku langsung mencari informasi ke UGM, apakah ada program ekstensi Akuntansi. Ternyata ada. Aku harus melewati tes penyaringan sebulan lagi. Membaca lagi, belajar lagi. Begitulah aku menghabiskan waktu untuk mempersiapkan tes penyaringan tersebut selama satu bulan penuh. Dan syukurlah, aku diterima. Tahun 2007, aku menjalani hari-hari tersibuk. Siang sampai sore, kerja. Sore sampai malam, kuliah. Dan malam sampai larut, maen. Hehe. Untuk membiayai kuliahku ini, aku mengambil uang tabungan yang selama ini sudah kukumpulkan. Sesaat, aku teringat lagi mimpiku untuk bekerja di media. Kenapa aku malah terjebak di sini? Di Jurusan Akuntansi? Tapi kemudian, aku menghibur diri sendiri bahwa aku pun bisa tetap bekerja di media dengan posisi finance.
Satu tahun kuliah, uang di rekening mulai menipis. Aku berpikir untuk mengumpulkan uang lagi. Aku tidak mau merepotkan orang tua untuk membiayai kuliahku ini. Akhirnya aku membuka bisnis laundry untuk tambahan penghasilan. Lagi-lagi, aku pakai hari liburku untuk bekerja sampingan. Aku ikut mengurus laundry ini karena dua orang pegawaiku libur bergantian pada hari Sabtu dan Minggu. Tak jarang pula aku ikut mencuci atau menyetrika baju. Tapi, tak pernah sedikit pun aku mengeluhkan hal ini. Aku malah bersyukur selalu diberi kemudahan mencari rezeki.
Dan, akhirnya aku bisa lulus tepat waktu. Selepas kuliah, awal tahun 2010, aku diterima di UGM menjadi manajer keuangan di salah satu proyek yang didanai World Bank. Akhirnya, aku meninggalkan perusahaan yang telah “membesarkanku” selama enam tahun ini dan menjalani tantangan di tempat baru.
Mungkin karena terbiasa sibuk sampai malam, aku merasakan ada sesuatu yang hilang ketika setiap sore tidak ada hal lain yang bisa kukerjakan kecuali iseng-iseng nulis di blog dan baca buku sepuasnya. Aku jadi sering mendatangi acara-acara seni dan bedah buku untuk mengisi waktu luang. Bertemu dengan komunitas baru, menjalin relasi dan pertemanan dengan orang-orang buku membuatku tambah menyukai dunia buku ini. Sampai kemudian aku ditawari oleh seseorang untuk menjadi editor freelance di tempatnya. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku bisa bekerja sore sampai malam dan tidak harus stand by di kantor penerbitan tersebut. Sangat menyenangkan!
Tidak lama setelah aku bekerja padanya, dia malah mengajakku diskusi tentang dunia penerbitan. Katanya, dengan latar pendidikan Sastra dan pengetahuan Akuntansi yang aku miliki, ditambah dengan kecintaanku di dunia tulis-menulis, bisnis penerbitan sangat cocok untukku.
“Kenapa kamu gak bikin penerbitan aja?” tanyanya suatu hari, “Kamu kan juga punya bakat wirausaha? Aku yakin, kamu pasti sukses kalau buka penerbitan,” sambungnya lagi.
Pertanyaannya benar-benar aku pikirkan. Masih lekat dalam ingatanku tentang mimpiku menjadi seorang editor in chief di sebuah media. Dan, dengan membuat penerbitan, aku bisa mewujudkan impianku tersebut, meskipun meleset dikit, hehe.  Akhinya, aku banyak berdiskusi dengannya tentang industri penerbitan, bagaimana sistem kerjanya, proses produksi, dan segala tetek-bengeknya. Aku benar-benar merasa excited dengan dunia buku ini. Alangkah senangnya jika benar suatu saat aku punya sebuah penerbitan. Selama ini, menulis dan membaca adalah hobby-ku, maka alangkah beruntungnya jika hobby ini mendatangkan kepuasan, baik material maupun imaterial.
Selama satu tahun itu aku membuat konsep, menyusun rencana bisnis, mengumpulkan modal dan mulai mencari formula yang cocok untuk penerbitanku kelak. Melalui banyak pertimbangan, akhirnya aku menemukan konsep yang pas untuk penerbitanku. Sebuah penerbitan yang akan aku beri nama Stiletto Book, penerbit buku yang mengkhususkan diri menerbitkan buku-buku bertema perempuan dengan high heels (yang dalam bahasa mode sering disebut stiletto) sebagai logonya.
Akhir 2010, Aku menjual aset laundry-ku karena tekad untuk membuat penerbitan sudah bulat. Sudah banyak rencana kususun. Banyak mimpi kudekap dan banyak cinta kukumpulkan untuk memulainya. Tepat 1 Januari 2011, aku resmi mendirikan Penerbit Stiletto Book melalui sebuah syukuran kecil. Belum ada karyawan waktu itu, aku pun masih bertahan kerja di UGM karena belum berani gambling untuk menggantungkan hidup dari usaha tersebut. Dan, kerja karas kumulai lagi. Nine to five aku bekerja di kantor mengurus keuangan. Sesampainya di rumah, dari jam 8 malam sampai jam 1 dini hari aku mengurus penerbitan. Dari mulai membuat blog, mencari naskah, promosi-promosi, dan lain sebagainya. Semua aku lakukan dengan penuh semangat yang meluap-luap.
Pelan tapi pasti, bulan Maret buku pertama terbit, disusul kemudian bulan April, dan bulan-bulan berikutnya Stiletto terus melahirkan buku-buku cantik untuk perempuan. Aku masih mengurus semuanya seorang diri. Memilih naskah, menyiapkan MoU, editing, mencari layouter, desain cover, menjalin hubungan dengan percetakan, distributor, dan mitra-mitra lain. Selama 6 bulan aku mengerjakan pekerjaan ini dengan tidak meninggalkan statusku sebagai karyawan. Lelah? Pasti! Tapi semua perasaan lelah dan capek itu menguap dan berganti menjadi semangat yang tak terkira ketika aku ingat lagi bahwa mimpiku bersama Stiletto Book sudah menunggu untuk segera kugapai.
Setelah 9 tahun menjadi kutu loncat sebagai karyawan. Juli 2011, aku keluar dari kantorku dan menyandang status baru sebagai wirausaha. Aku bangga dan sangat menikmati kehidupanku. Sekarang, aku sudah memiliki 2 pegawai tetap dan beberapa pegawai freelance. Desember kemarin, aku sempat masuk menjadi 8 finalis womenpreneur yang diadakan oleh Majalah Sekar dan berangkat ke Jakarta untuk berkumpul dengan para wanita luar biasa. Profilku bersama Stiletto Book pun bulan Januari ini muncul di Majalah Sekar. Ini sebuah pencapaian luar biasa buatku sebagai pengusaha pemula.
Terima kasih Tuhan, sekarang aku di sini sedang terus berusaha memupuk mimpiku bersama Stiletto Book. Tak pernah lelah berusaha dan berdoa agar kelak semua mimpi ini bisa kuraih. Terima kasih juga untuk banyak tangan yang telah membantuku, terutama untuk suamiku yang sudah memperkenalkan dunia baru yang begitu memesona ini. Ya, orang yang dari tadi aku ceritakan di atas adalah Paul, seseorang yang kemudian menjadi suamiku. Ternyata, untuk urusan jodoh pun, aku “dipertemukan” melalui buku. J
                Mari teman. Jangan lelah menggapai mimpimu. Ingat kata Paulo Coelho “Ketika kita punya mimpi dengan teramat sangat, maka seluruh alam akan bahu membahu mewujudkan keiangan kita tersebut.  

Kisah tersebut ada dalam buku "A Cup of Tea - Menggapai Mimpi" bersama 19 kisah nyata dari 19 penulis. Baca gih, jangan salahkan aku kalau setelah selesai baca buku ini jadi tambah semangat mengejar mimpi. ^^



Judul: A Cup Of Tea – Menggapai Mimpi
Penyusun: Herlina P. Dewi dan Reni Erina
Pemberi komentar/renungan: Faiz Hayaza’ (Psikolog dan Motivator)
Tebal: 220 halaman
Harga: 40.000

Sinopsis:
Setiap orang punya cara dan jalan untuk menggapai mimpinya. Untuk itulah “A Cup of Tea - Menggapai Mimpi” hadir, mempersembahkan kisah inspiratif yang diuraikan oleh 20 penulis. Di dalam buku ini, ada banyak suntikan motivasi yang layak untuk kita serap. Persoalan demi persoalan, kendala yang menghadang, serta kekurangan di sana-sini, adalah bagian dari proses yang harus dilewati.

Semua mencoba berbagi kisah agar bisa berguna bagi orang lain. Semangat, tekad dan kerja keras yang melahirkan kekuatan adalah persembahan motivasi bagi pembaca sekalian. Dan mungkin kita tak menyadari, bahwa kekuatan mimpi bisa begitu dahsyatnya.


Kontributor:
Al Ninezia - Anya Rey - Dewi Muliyawan - Drg. Deasy Rosalina - Dwi Rahmawati - Etyastari Soeharto - Evi Sri Rezeki - Glenn Alexei - Harry Gunawan - Kartika Setianingrum - Lucya Chriz - Meilina Widyawati - Ni Made Rimawati - Novi Nine - Sofia Orlando - Venny Mandasari - Weni Mardi Waluyani - Yoana Dianika
 
Testimoni:
"Buku yang luar biasa ini menuturkan dengan sangat menyentuh tentang bagaimana banyak hati berdamai dengan keterbatasan dan melahirkan energi dahsyat untuk mengubah keadaan. Kisah-kisah dengan ragam latar belakang yang hadir di sini, akan membuka hati kita untuk melihat dunia sebagai lahan harapan yang tak habis-habis." (Alberthiene Endah, Penulis)

"Ada usaha keras di balik setiap mimpi. Karena mimpi yang membuat hidup jadi lebih bermakna, beranilah bermimpi setinggi mungkin. Seperti 18 (+2) perempuan hebat nan inspiratif di buku indah ini." (Brilyantini, Editor in Chief Majalah Sekar)


4 komentar:

  1. Balasan
    1. Yes! :) Dibeli ya, sudah tersedia juga di Gramedia Medan ^^

      Hapus
  2. terima kasih atas informasinya untuk menjadi referensi buku saya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih. Happy hunting & happy reading, ya..:)

      Hapus