12 Oktober 2012

Writer Versus Editor (Serial A Cup of Tea for Writer)


"Selamat sore. Saya tahu Anda masih di dalam kantor. Hati-hati aja nanti di jalan. Saya bisa memperkosa dan membunuh Anda kapan pun saya mau.”

Sebuah SMS dengan nada mengancam masuk ke ponselku tepat ketika aku sedang bersiap pulang. Waktu sudah menunjuk pukul 17.05. Kantor sudah sepi. Hanya tinggal aku yang masih asyik menyelesaikan sisa-sisa pekerjaan ditemani alunan musik dari media player.
SMS itu kubaca sekilas, kemudian aku memasukkan ponsel ke tas. Aku segera membereskan meja, menyesap kopi sampai tandas, dan pulang. Namun, baru saja aku melangkah keluar, ponselku kembali berbunyi.

“Bu Herlina, camkan SMS saya tadi. Saya bisa membunuh Anda di mana pun!”


Sial! SMS yang tadinya kupikir salah kirim itu, ternyata memang benar ditujukan buatku.
Selama lebih dari satu minggu aku terus dihantui SMS-SMS tersebut. Aku yang biasanya cuek dan tidak mengacuhkan hal-hal semacam itu, jadi sedikit penasaran. Kira-kira siapa pelakunya? Aku mulai berpikir, apakah akhir-akhir ini aku melakukan tindakan yang semena-mena? Kurasa tidak. Aku pun merasa selama ini aku tidak punya musuh. Kesalahan apa yang membuat orang itu betapa ingin memperkosaku? Membunuhku?
Dari hasil penyelidikanku, akhirnya aku mencurigai seseorang yang belum lama ini mengirimkan sebuah e-mail mencurigakan. Ada nada ancaman dan protes di e-mail tersebut.
Demi memuaskan rasa penasaranku, akhirnya aku memutuskan untuk mengadukan ancaman tersebut ke polisi. Berbekal surat dari kepolisian, aku mendatangi kantor provider nomor yang dipakai oleh pelaku untuk menyelidiki di wilayah mana nomor tersebut digunakan.
Data dari provider sudah kudapat. Di sana tercantum nomor tersebut dipakai di wilayah mana. Lengkap. Namun, aku yakin nama yang tercantum bukan nama asli si pelaku. Aku segera mencocokkan data tersebut dengan data seseorang yang kucurigai. Ternyata benar! Kedua data tersebut sama persis!
Ya, dia adalah seorang penulis yang naskahnya ditolak oleh Stiletto Book. Di profil penulis yang ada dalam naskahnya, dia mencantumkan alamat rumah. Alamat tersebut sama dengan data yang aku peroleh dari provider.
Hebat sekali, bukan? Sampai segitu sakit hatinyakah dia gara-gara naskahnya ditolak? Aku tidak habis pikir kenapa dia begitu anarkis mengirimkan pesan-pesan ancaman itu. Yang aku herankan, dia adalah seorang perempuan matang.
Meskipun sebenarnya aku sangat yakin ancaman tersebut tidak serius—hanya untuk menakut-nakutiku—tapi aku cukup heran. Bukankah naskah ditolak adalah hal yang lumrah? Kenapa dia begitu marah? Padahal kami juga membuat surat penolakan naskah dengan begitu sopan. Ah, mungkin dia memang psikopat.
Itulah sekelumit kisahku sebagai editor in chief di Stiletto Book. Banyak hal menyenangkan dan penuh warna aku lewati bersama Stiletto. Namun, tak jarang kejadian-kejadian pahit semacam itu juga menimpaku.
Aku pernah dikritik habis-habisan lantaran buku yang kuedit EYD-nya masih belum rapi. Aku juga pernah diprotes oleh seorang pembaca yang mengatakan bahwa salah satu novel terbitan Stiletto Book terlalu vulgar. Semua masukan dan kritik tentunya harus aku terima dengan penuh rasa syukur, seperti ketika aku menerima begitu banyak pujian, hehe.
Seperti yang terjadi pada suatu hari di bulan April 2012. Waktu itu aku menjadi salah satu pembicara dalam peluncuran novel yang diterbitkan oleh Stiletto Book. Kami mengundang para pengamat sastra. Betapa kegetnya aku ketika salah seorang pembahas terang-terangan memuji kinerjaku.
“Beginilah seharusnya menjadi seorang editor. Tidak hanya menjadi polisi EYD atas sebuah naskah tapi juga menjadi teman penulis. Saya tidak melihat kesan seorang editor yang galak di mata Dewi. Dia pasti sangat sabar.”
Hmm... kepalaku mendadak menggelembung waktu itu. Pujian itu datang lantaran si penulis novel juga tak henti-hentinya memujiku selama talkshow.
 Sebagai editor, aku selalu memosisikan diri di antara penerbit, pembaca, dan penulis. Dengan begitu, aku bisa bekerja secara objektif dan profesional.
Editor membutuhkan konsentrasi tinggi, bahkan sebelum mulai menyunting. Editor dituntut (baik oleh penerbit maupun pembaca) agar menetaskan karya yang matang, memikat, disiapkan sebaik mungkin, serta membuat pembeli pantas membelanjakan sejumlah uang dan mendapat gantinya yang sebanding.
Di Stiletto, aku membuat sebuah Standard Operational Procedure (SOP) untuk editor-editor akuisisi dalam memilih naskah yang akan diterbitkan. Tentunya banyak pertimbangan, karena menemukan naskah yang siap terbit seperti mencari sebuah permata. Editor bertugas sebagai pemahat permata yang akan membuat permata itu semakin berkilau.
Editor juga dituntut untuk bisa menempatkan diri di antara karya si penulis dengan penulis itu sendiri. Sikap seorang editor terhadap naskah biasanya berbanding terbalik dengan sikap seorang penulis. Secara mental, editor hampir selalu dipenuhi keyakinan bahwa naskah tersebut “harusnya begini, harusnya begitu”. Editor seolah-olah merasa selalu ada kesalahan dalam sebuah naskah, selalu ada yang cacat dalam sebuah tulisan, dan selalu kurang puas terhadap sebuah karya.
Hal sebaliknya terjadi pada penulis. Penulis selalu merasa tulisannya sudah sempurna. Oleh karena itu, mereka hampir selalu berkeberatan jika ada usul perbaikan atau revisi. Penulis merasa sudah melahirkan anak paling cantik sedunia. Tak ada lagi yang perlu diperbaiki, tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Semua kalimat dan pasase telah dipikirkan masak-masak.
Di sinilah awal mula diskusi antara editor dan penulis dibuka. Persoalan sebenarnya ada pada perbedaan sudut pandang dan kepentingan. Biasanya penulis kerap merasa “paling berhak” terhadap karyanya, sementara editor harus mewakili penerbit dan pembaca. Mewakili penerbit, editor harus menerbitkan karya yang menguntungkan. Mewakili pembaca, editor harus bisa menempatkan dirinya jika suatu saat membaca buku tersebut di luar sana.
Menghadapi hal semacam itu, aku menyiasatinya dengan mengenal penulis terlebih dulu. Aku menempatkan penulis bukan dalam hubungan editor versus penulis, tapi lebih sebagai teman ngobrol. Aku akan membuka diskusi. Misalnya, bagaimana jika bagian tertentu dihilangkan saja? Bagaimana jika materi pada bab tertentu ditambah? Apa tujuan penulis memilih kalimat-kalimat tersebut? Apakah logika yang digunakan penulis sudah benar? Apakah konflik-konflik yang dibangun sudah masuk akal? Dan sebagainya.
Sebelum mulai mengedit, aku membaca keseluruhan naskah untuk memudahkan mengedit kesatuan cerita (koherensi). Lalu. kuedit per bagian. Setelah semuanya selesai, aku akan mengirimkan kembali pada penulis. Biasanya diskusi akan semakin seru dan heboh, hehe.
Ada penulis yang langsung setuju dengan semua usulan revisi, tapi ada juga penulis yang keukeuh mempertahankan tulisan yang sebelumnya sudah kuedit. Kami akan mendiskusikannya dengan kepala dingin untuk menghasilkan sebuah tulisan yang tentunya lebih bagus daripada sebelumnya.
Ketika naskah sedang diedit, seharusnya penulis sudah mulai berjarak dengan karyanya karena tulisannya akan segera menyapa pembaca luas. Itulah fungsi editor, sebagai orang yang diharapkan mampu mewakili selera pembaca secara umum. Mau apa dia dengan tulisannya? Bisakah tulisan itu dibaca? Bagaimana bahasanya? Kepaduan paragrafnya? Apakah ada emosi mengalir di sana? Intinya, ketika sudah mulai proses editing, di situlah sebuah tulisan sedang dinegosiasikan.
Sejauh ini, aku belum pernah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan dengan para penulis yang naskahnya kuedit. Malah sebaliknya, aku menjalin hubungan baik dengan mereka. Sesekali kami ngopi bareng untuk sekadar ngobrol-ngobrol jika kebetulan ada waktu untuk bertemu. Ya, semuanya berjalan lancar dan tanpa kendala berarti. Kebahagiaan yang paling berarti buatku ketika selesai mengedit adalah jika penulis merasa puas dengan hasil editanku dan—tentunya—jika bukunya laris di pasaran.
Lalu, apa yang aku lakukan untuk memperkaya diri? Tak ada jalan lain kecuali rajin membaca. Ketika membaca, seseorang tidak hanya mencerap makna suatu kata, kalimat, wacana, melainkan juga melakukan interpretasi, memperkaya wawasan, juga pengayaan gagasan. Proses membaca yang ideal pada akhirnya akan mengolah seluruh proses itu menjadi sebuah petualangan intelektual ynag sangat bermanfaat. Selain membaca, aku juga sering memperkaya diri dengan menonton film dan jalan-jalan ke toko buku untuk melihat perkembangan buku di pasaran.
 Hmm... perjalananku bersama Stiletto Book memang baru 1,5 tahun. Namun, aku sangat bersyukur karena Stiletto sudah bisa diterima dengan baik oleh pembaca dan para penulis. Di bulan-bulan awal terbentuknya Stiletto Book, untuk mencari naskah siap terbit aku harus begadang setiap malam, melakukan blog walking, promo-promo di media sosial,dan bergabung dengan komunitas-komunitas penulis. Aku bahkan pernah mendatangi penulis di Bandung demi sebuah naskah.
Sekarang, setiap hari e-mail Stiletto selalu ramai oleh naskah-naskah dari para penulis. Kehebohan terjadi lagi ketika akan memutuskan apakah naskah tersebut berhak terbit atau tidak. Biasanya, aku dan tim akan membaca naskah tersebut kemudian mendiskusikan kelebihan dan kekurangannya. Sangat mengasyikkan karena kehebohannya bisa mengalahkan pasar kaget, hehe. Kami akan menilai dari berbagai perspektif; dari keunikan naskah itu sendiri, latar belakang penulis, pangsa pasar, pembaca sasaran, dan sebagainya.
Ya, harus diakui bahwa naskah terbit tidak hanya karena menarik tapi juga “punya pasar”. Latar belakang penulis juga menjadi salah satu pertimbangan terbit atau tidaknya naskah di Stiletto Book. Penulis yang aktif di komunitas dan media sosial akan memiliki nilai jual lebih tinggi dibandingkan penulis pasif.
Penulis juga tidak boleh hanya mengandalkan penerbit untuk aktivitas promosi. Sentuhan penulis melalui the power of mouth akan sangat diperlukan dalam penjualan buku. Bayangkan saja, ribuan judul buku terbit setiap bulan. Semua berlomba untuk menjejali rak-rak toko buku. Tak heran jika life time buku di toko menjadi sangat singkat.
Buku hanya akan bertahan selama dua bulan di toko buku besar. Jika toko buku merasa penjualan sebuah buku kurang bagus, hanya dengan sekali klik buku itu sudah dikembalikan ke distributor atau penerbit. Menyedihkan, bukan? Untuk itu, peran serta penulis dalam mempromosikan bukunya sangat dibutuhkan.
Sebagai editor in chief, aku juga dituntut untuk peka terhadap tren buku yang sedang ada di pasaran. Buku tidak hanya harus bagus tapi juga harus punya pembaca sasaran yang luas. Buku tidak hanya cantik secara kemasan, tapi isinya pun harus bisa dipertanggungjawabkan dan menghibur pembaca.
Banyak sekali pertimbangan sebelum memutuskan layak tidaknya sebuah buku terbit. Karena ketika kami memutuskan untuk menerbitkan sebuah buku, itu artinya kami harus berinvestasi puluhan juta rupiah. Jika buku kurang laku, siapa yang harus menanggungnya? Tentunya penerbit. Penulisnya pun pasti akan sedih.
Sejak awal membangun Stiletto Book, sudah kuniatkan dalam hati bahwa aku tidak sedang membangun sebuah bisnis murni yang hanya mengenal untung rugi. Aku ingin lebih dari itu. Aku mengawali bisnis ini dengan sebuah cinta. Cintaku kepada buku. Kepada dunia tulis-menulis. Kepada dunia editing. Cinta inilah yang membuat semua pekerjaan terasa lebih mudah dan ringan.
Banyak penulis bertanya apakah Stiletto hanya menerbitkan naskah yang bertema perempuan. Tentu saja jawabannya adalah ya. Stiletto Book memang concern untuk menerbitkan naskah-naskah seperti itu, baik buku nonfiksi maupun fiksi. Perempuan pun menjadi segmen utama pembaca kami.
Kenapa?
Ah, sebenarnya aku hanya ingin melihat para perempuan tidak melulu mengurusi kecantikan fisik tapi juga inner beauty-nya. Perempuan tidak hanya memikirkan jambul khatulistiwa atau bulu mata antibadai Katrina. Perempuan juga harus punya waktu untuk memberikan nutrisi pada otaknya dengan cara membaca buku.
Dengan buku, perempuan pasti akan terlihat lebih cerdas dan lebih seksi. Aku juga ingin menciptakan image bahwa membaca bukan lagi sebuah kegiatan yang serius, so nerdy. Membaca adalah sebuah aktivitas yang seksi, yang bisa membuat kita—para perempuan—terlihat lebih matang dan cerdas dengan pengetahuan kita. Untuk itulah, moto Stiletto Book adalah Be smart and sexy with Stiletto Book.
 Mimpiku bersama Stiletto Book masih banyak. Aku akan terus berjalan ke depan, pelan tapi pasti untuk mewujudkan semuanya.
Hmm... beberapa tahun ke depan, aku mengingankan tim di Stiletto Book sudah lengkap, ada bagian promosi, editor fiksi, editor nonfiksi, bagian kreatif, HRD, keuangan, dan seterusnya, tentunya semuanya perempuan. Beberapa tahun ke depan, aku ingin memiliki sebuah kantor penerbitan sendiri (tidak ngontrak seperti sekarang, hehe). Di kantor itu terdapat home training untuk workshop menulis, ada showroom yang khusus menjual buku-buku Stiletto Book, dan ada mini coffee shop sehingga para pengunjung bisa membaca sekaligus menikmati secangkir kopi atau teh. Ah, mimpi itu membuatku semakin bersemangat melewati hari-hari bersama Stiletto Book.
Jadi, di sinilah aku sekarang, di belakang meja, membaca naskah audisi A Cup of Tea for Writer, diskusi dengan desain cover untuk membuat konsep cover buku ini, menghitung perkiraan biaya cetaknya, membuat rencana kegiatan promonya, sesekali say hello dengan para kontributor, menghubungi para penulis tamu, diskusi dengan Mbak Eno tentang buku A Cup of Tea for Writer ini, dan sedikit mengerutkan kening ketika ingat aku harus segera merampungkan tulisan ini karena harus naik cetak sebelum libur Lebaran tiba. Hehe.
Begitulah. Bersama buku, aku bermimpi dan hidup. I do really love my job!
Kulirik jam di dinding kantor. Waktu sudah menunjuk pukul 17.05. Kantor sudah sepi. Hanya tinggal aku yang masih asyik menyelesaikan sisa-sisa pekerjaan ditemani alunan musik dari media player. Aku segera membereskan meja, menyesap kopi sampai tandas, dan pulang. Namun, kali ini aku bisa pulang dengan lega karena SMS-SMS dari psikopat itu sudah kapok setelah aku balas dengan ancaman yang tak kalah menakutkan. J

Tulisan di atas menjadi bagian dari buku  "A Cup of Tea for Writer" bersama 19 kisah nyata dari 19 penulis lainnya. Wajib baca! :)



Judul: A Cup Of Tea for Writer
Penyusun: Triani Retno A & Herlina P. Dewi
Desain Cover: Ike Rosana & Felix Rubenta
Harga: 40.000
Tebal: xii + 195 halaman

Kontributor:
Adnan Buchori, Haeriah Syamsuddin, Ina Inong, Juliana Wina Rome, Lalu Abdul Fatah, Monica Anggen, Mpok Mercy Sitanggang, Nuri Novita, Ririe Rengganis, Setiawan Chogah, Skylashtar Maryam, Whianyu Sanko, Widya R, Yas Marina

Penulis Tamu:
Reda Gaudiamo, Ika Natassa, Ollie & Dian Kristiani

Sinopsis:
Belakangan ini, menulis terdengar sangat seksi. Begitu banyak orang yang ingin menjadi penulis. Motivasi mereka pun beragam. Dari mengisi waktu senggang, ingin terkenal, hingga mencari nafkah. Impian untuk menjadi seterkenal J.K Rowling pun melambung. Terkenal, royalti melimpah, tulisan difilmkan, diterjemahkan ke berbagai bahasa, dan seterusnya.

Namun, jalan menuju dunia penuh pesona itu tak selalu mulus. Banyak kerikil tajam yang harus dilalui. Terkadang, ada air mata tertumpah. Ditolak berkali-kali oleh penerbit dan media massa, ditentang oleh orang-orang terdekat, dipandang sebelah mata, royalti minim, hingga ditipu penerbit. Ada yang menyalahkan keadaan, ada yang menyerah dan menggantung pena. Hanya mereka yang bertekad kuat yang mampu bertahan. Hanya mereka yang mampu menjaga pijar semangat yang dapat terus melangkah di jalan ini.

A Cup of Tea for Writer membagi semangat itu pada para pembaca. Semangat itu akan menyala di hati. Menerangi. Menghangatkan. Tips menulis persembahan dari Mbak Reda Gaudiamo tentunya akan menjadi bonus yang mengasyikkan di halaman terakhir. Selamat membaca sambil menikmati secangkir teh Anda.

4 komentar:

  1. Hi mba Herlina, aku mau bertanya 1 hal, klise sih.. Kok penikmat kopi menulis buku A Cup of Tea? hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe.. Maunya sih "A Cup of Coffee...." tapi kan ini buku berseri yang diterbitkan oleh Stiletto Book, dan karena buku ini segmen pembacanya diutamakan perempuan, makanya dikasih namanya "A Cup of Tea", karena tidak semua perempuan suka kopi. Begitu kira2 jawaban saya yang tak kalah klise... :)

      Hapus
  2. saya udah baca bukunya.... menginspirasi..

    BalasHapus