“Ketika hidup terasa sebagai sebuah perulangan. Di situ mati merupakan peralihan yang membebaskan.”
Lima tahun lalu, 23 Maret 2009,
adalah hari paling berat dalam hidupku. Seorang adik sepupuku meninggal dalam
sebuah kecelakaan tabrak lari. Dan sampai sekarang peristiwa itu seolah
terkubur bersama dengan jasadnya, di sudut kota Wonosobo sana, kota kecil
kelahiran kami.
Dedi Kurniawan, begitu nama
lengkapnya. Umur kami hanya selisih dua tahun. Kami menghabiskan masa kecil
bersama di salah satu kampung di daerah Wonosobo. Lima tahun lalu, 22 Maret 2009
pukul 23.15 WIB, aku mendapatkan SMS darinya. Waktu itu dia sudah menjadi
seorang polisi dengan pangkat Briptu, sedangkan aku sudah bekerja di Jogjakarta
dan tinggal di kosan. Dia ditugaskan di daerah Tegal. Entah di polres, polsek
atau apa, aku nggak mudeng.
“Mbaaaaaaaaaaak.....” Begitu bunyi SMS-nya.
Aku pun langsung membalas, “Kenapa malem2 teriak2? Lagi mumet ya?”
Beberapa menit kemudian, dia membalas lagi, “Haha, nggak. Mau konsultasi spiritual nih.”
Kubalas singkat, “Kenapa? Putus cinta?”
“Nope! Lagi nggak mikirin itu. Ini masalah hidup.” Katanya lagi di SMS-nya.
Kami pun berbalas SMS sampai 3X sebelum akhirnya dia menyudahinya dengan mengatakan bahwa dia akan segera meneleponku nanti malam karena ada sesuatu yang harus dikerjakan. Aku segera tidur. Entah kenapa, tiba-tiba pukul 03.15 dini hari aku terbangun seolah mendengar sebuah suara piring yang dilemparkan dari atas.
“PRAAAAAAANG!!!”
Aku kaget dan terbangun dengan keringat dingin di sekujur tubuh. Aku bingung. Entah apa yang terjadi ketika itu. Aku tidak yakin kalau itu hanya mimpi, karena ketika aku ingat-ingat lagi, aku benar-benar tidak ingat apa pun. Aku hanya mendengar suara keras memekakkan telinga yang mebuatku kaget dan langsung terbangun.
Setelah meneguk satu gelas air
putih, aku mengecek ponsel, pukul tiga lebih sedikit, dini hari. Kulihat ada panggilan tak
terjawab dari Dedi yang meneleponku pukul 01.30 WIB. Ah, masa iya subuh-subuh begini aku telepon balik? Pikirku. Aku pun
berusaha tidur lagi sambil berdoa semoga suara tadi hanya halusinasiku saja.
Pagi harinya, seperti biasa, aku
langsung mandi dan bersiap berangkat ke kantor. Setelah berdandan dan siap keluar
dari rumah, aku kembali mengecek posel, ada panggilan tak terjawab sebanyak
tujuh kali, dari ibuku. Sepertinya Ibu meneleponku ketika aku sedang mandi. Tepat ketika aku akan meneleponnya, ibuku
sudah nelepon lagi.
“Dewi, kamu pulang sekarang ya.” Katanya tanpa basi-basi. Kudengar di belakang begitu riuh dengan suara tangis.
“Kenapa emang?”
“Dedi kecelakaan,” kata ibuku lirih.
“HAH? Terus sekarang gimana?”
“Langsung meninggal di tempat.” Ibuku sudah menangis lagi. Histeris.
Tak sadar aku melempar
handphone-ku. Lututku lemas. Kepalaku pusing. Pandanganku hitam. Aku pingsan. Ketika
siuman, aku sudah menemukan diriku bersimbah air mata di sebuah kursi yang
kuletakkan di sudut rumah. Aku ditemani oleh ibu kosku, menangis dalam
pelukannya.
Aku benar-benar masih belum percaya ini terjadi. Dedi! Dedi yang semalem SMS-an denganku dan mengatakan bahwa dia sudah bosan hidup sebagai perantauan, benar-benar sudah kembali dalam pelukan-Nya. Pulang ke rumah-Nya.
Aku benar-benar masih belum percaya ini terjadi. Dedi! Dedi yang semalem SMS-an denganku dan mengatakan bahwa dia sudah bosan hidup sebagai perantauan, benar-benar sudah kembali dalam pelukan-Nya. Pulang ke rumah-Nya.
Aku bersiap pulang ke Wonosobo
dengan diantar oleh pacarku. Selama dalam perjalanan, aku mengingat semua hal
yang pernah kami lewati bersama. Aku ingat ketika kecil aku dan Dedi, juga
adik cowokku yang seumuran dengan Dedi, suka mencari cengkih di depan rumah nenek kami dan hasilnya kami jual
untuk membeli mainan. Aku ingat, ketika SD, kami berdua (aku dan Dedi) pernah
mengecat rambut kami dengan warna merah menyala. Akibatnya, kami takut pulang
ke rumah. Kami pun baru berani pulang selepas magrib dengan memakai topi. Namun,
kemudian itu ketahuan karena ketika di dalam rumah kami tidak mungkin
terus-terusan bertopi. Kami berdua dimarahi oleh orangtua masing-masing. Bukannya
takut, kami cekikikan karena membayangkan kami harus digundul. Ah, banyak
sekali momen-momen lucu dan manis yang sudah kami lewati bersama. Semua kenangan
masa kecil kami benar-benar seperti adegan film yang sedang diputar kembali. Sepanjang
perjalanan Jogja-Wonosobo aku hanya menangis. Selama empat jam aku mengenangnya.
Dan terus menangis. Pacarku cuma diam sambil menyetir. Dia benar-benar diam,
tidak berusaha menghiburku atau apa. Toh aku juga sedang tak butuh hiburan waktu
itu.
Aku sampai di rumah Dedi dan melihat
kerumunan orang, melingkari sebuah peti mati berwarna cokelat yang sudah
ditutup bendera merah-putih. Aku tak berani membukanya. Cuma bisa menangis di
sampingnya dan menanyakan apa gerangan yang ingin dia katakan lewat telepon
dini harinya. Ketika jenazahnya dikuburkan, aku bener-bener seperti kehilangan
separuh jiwaku. Aku tidak beranjak dari kuburan sampai semua pengunjung
meninggalkan makam. Bersama ayahnya, aku berdoa di atas gundukan tanah merah
itu. Sedangkan tanteku (ibunya Dedi) masih pingsan dan tak ikut ke pemakaman. Kedua
adik Dedi yang masih kecil, hanya bisa diam tak jauh dariku.
Malam harinya. Aku iseng SMS dia.
Dan SMS-ku dibalas dengan SMS kosong! Padahal aku tidak tahu itu ponselnya
sedang ada di mana karena semua barangnya masih dipegang oleh polisi yang
katanya akan mengusut kasusnya. Mungkin polisi yang memegang ponsel Dedi sedang
iseng dengan membalas SMS-ku. Atau mungkin itu Dedi yang membalasnya. Entahlah.
Ah, Dedi. Setiap tahun, setiap
tanggal 23 Maret, aku pasti selalu mengulang semua hal yang pernah kita lewati
bersama. Semoga kamu tenang di sana ya.
----
Dedi Kurniawan, ketika itu
berumur 25 tahun. Seorang polisi dengan pangkat Briptu yang sedang ditugaskan
di daerah Tegal. Dia mengalami kecelakaan tabrak lari oleh sebuah bus malam
yang melintas ke arah Purwokerto pada pukul 3 dini hari, di jalan raya dalam kota
Tegal. Katanya, tubuhnya terlempar sejauh 10 meter. Motor MegaPro yang
dikendarainya rusak parah. Parah banget sampai tak berbentuk. Pada tanggal yang
sama, 23 Maret 2009, beritanya dimuat di Radar Tegal dan siang harinya, beritanya muncul di salah
satu berita, entah SCTV atau RCTI. Sebenarnya ada saksi mata, seorang
tukang becak yang mendengar kejadian itu. Dia mengatakan sebuah nama bus yang
menabraknya. Kasus ini pun pernah diurus oleh keluarga kami, tapi tak berhasil
terungkap. Aku benar-benar kecewa dengan kinerja Kasatlantas Polresta Tegal. Adikku adalah anggota polisi, tapi kenapa kasus
seperti ini (yang sebenarnya sangat mudah ditelusuri) dibiarkan
terkubur? Entahlah. Yang kudengar, pemilik bus AKAP itu memang bukan orang sembarangan.
Dia punya backing kuat di daerah Tegal sana.
Omku, ayah Dedi, pernah mengatakan padaku...
Omku, ayah Dedi, pernah mengatakan padaku...
“Wi, itu aku lihat di berita, ada bapak-bapak berjalan kaki dari Jawa Timur ke Jakarta buat nemuin presiden karena anaknya yang mati kena peluru nyasar kasusnya tidak terungkap. Dia menuntut keadilan. Banyak media meliputnya. Kalau aku kayak gitu, kira-kira gimana ya? Siapa tahu jadi banyak media juga yang menyorot? Dan akhirnya kita bisa tahu siapa yang sebenarnya menabrak anakku?”
Aku spechless. Aku tahu betapa
sedih dan kehilangannya omku. Dedi anak pertama. Kedua adiknya masih
kecil-kecil. Sampai sekarang, fotonya masih ada di semua tembok rumahnya. Waktu itu, entah
untuk berapa bulan setelah kematian Dedi, omku selalu datang ke pemakamannya
setiap hari. Setiap hari. Hanya untuk menanyakan, “Ded, siapa yang nabrak kamu?”
Ya Tuhan, siapa pun yang nabrak
adikku, semoga diberi kesadaran bahwa nyawa orang sama berharganya dengan nyawa
kucing. Jika seorang sopir menabrak kucing saja jenazahnya pasti dikubur,
kenapa ini nyawa orang malah diabaikan? Jika dulu sopir itu tidak sebejad itu dengan meninggalkan Dedi
di pinggir jalan, mungkin nyawanya masih bisa ditolong. Mungkin. Namun, usia
manusia katanya memang sudah ditentukan Tuhan. Tidak ada kematian yang datang
lebih cepat atau terlambat. Semuanya tepat pada waktunya. Begitu pun Dedi, dia
meninggal tepat waktu, ketika dia memang sudah bosan hidup sebagai perantauan
dan ingin pulang ke rumah-Nya.
Rest in peace, my brother.
We love you! Kami di sini selalu mendoakan dan mengenangmu.
Beritanya masih ada di sini ternyata:
sedih mbak wiiik
BalasHapustouched me so deep, mbak. semoga mas dedi diberi tempat terindah di sana. kalimat ini saya stabillo ya! >> "Ketika jenazahnya dikuburkan, aku bener-bener seperti kehilangan separuh jiwaku. Aku tidak beranjak dari kuburan sampai semua pengunjung meninggalkan makam."
BalasHapus*peluk*
:')