19 Juli 2009

Sebuah Persembahan

Maret 2008

Diamlah hatiku, karena langit tiada mendengar.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, aku melewatkannya di sebuah kedai kopi yang letaknya tidak seberapa jauh dari tempat tinggalku. Bersama dengan salah satu sahabat, aku menghabiskan secangkir bubuk hitam dan obrolan garing masing-masing diantara kita.

Tak seberapa lama, ketika waktu menunjuk pukul 10 malam, seseorang menghampiri ketika kita tengah khusyuk dengan aktivitas masing-masing, sahabatku yang asyik dengan laptop-nya dan aku sendiri sibuk membolak-balik lembar majalah.

“Slamat Malam” katanya.
Kulihat wajahnya sekilas untuk kemudian kembali ke aktivitasku semula.
Dari obrolan singkat yang aku dengar, sepertinya mereka adalah teman yang sudah lama tak bersua, sesekali aku curi dengar obrolan yang tak kalah garing versi dua lelaki itu.
Piye? Masih sibuk ngajar?” katanya.
“Yo, tuntutan hidup” sahut sahabatku.
Wis nikah durung ki….??
Durung, durung ketemu sing pas, koe piye kang? Wis mbojo?
”hehe… sama, masih diberi kesempatan sama Tuhan untuk menentukan pilihan“ jawabnya bijak.

Ah… ternyata memang masih pada asyik dengan kesendirian, akupun tak mau kalah, segera kutimpali obrolan mereka dengan alibiku yang – masih - merasa nyaman dengan kesendirianku.

Hidup adalah sebuah pulau di laut kesunyian dan kesendirian. Hidup adalah sebuah pulau dimana bebatuan adalah harapan, pepohonan adalah impian, bunga adalah kesendirian dan musim semi adalah kehausan ditengah lautan kesunyian dan kesendirian.

Berawal dari obrolan singkat yang diakhiri dengan tukar menukar kartu nama, kita pulang ke kediaman masing-masing setelah gong kedai kopi itu ditabuh untuk mengusir para tetamunya. Dan jalanpun kembali lengang.

Setelah itu,
Sesekali, kudapati pesan singkat di ponselku pada pagi buta dari nya, biasanya aku belum tertidur dan biasanya juga sms itu aku diamkan – karena seringkali pesan seperti itu aku dapat dari para penghuni malam diluar sana - tapi tak jarang juga aku balas. Susunan katanya selalu mengingatkanku pada malam-malam yang akan segera bertepi.

April 2008

Diamlah hatiku, karena malam telah berlalu.
Sesekali disuatu malam, aku juga bisa ditemui di suatu kedai kopi yang lain bersama dengannya, papan catur selalu tergelar dimeja kami, ditemani dengan secangkir kopi dan kepulan rokok, kami selalu melewatkannnya seperti itu, ketika dia sudah lelah dengan kekalahannya, kamipun ngobrol seperlunya.

Tak jarang cerita mengalir darinya, kelihaiannya mengurai cerita perjalanannya membuatku sedikit terhenyak kagum, bukan masalalunya, bukan juga cerita kekonyolannya, apalagi kesuksesannya tapi ketulusannya untuk mau berbagi cerita dengan-ku, aku sangat menghargainya karena itulah kepercayaan yang dia berikan diawal sebuah persahabatan.
Hari hari berikutnya, minggu-minggupun beterbangan dan bulanpun berlalu.

Kami sibuk dengan diri dan kehidupan masing-masing, masih juga sesekali dia menghubungiku, mengirim pesan singkat untuk sekedar menyapa dipagi hari. Tak ada yang special, semuanya berjalan seperti malam melewati bulan dan pagi menggantikan gelapnya.

Hingga suatu malam di bulan Juni 2008
Diamlah hatiku, menangislah hingga beku.

Ponselku berdering,
”Sibuk ga malam ini? Ngopi yuuk, udah lama nih ga ketemu”
suaranya terdengar sayup diriuh rendahnya tawa sekelilingku.
”Yuuukz, mau curhat nih, aku lagi patah hati, huhuhu”
jawaban itu meluncur spontan dari bibirku yang kering dimusim penghujan.

Tak berapa lama sesampainya aku dirumah, dia menyambangiku, kitapun mengabur ke sebuah kedai kopi.
Malam itu, aku berkata-kata, merunut semua kejadian yang menerpaku secepat kilatan cahaya, kulihat dia sangat seksama menyimak celotehanku yang tak jarang diselingi senyum kecutnya, dimatanya kulihat sirat kesedihan dan kepiluan tanda empati yang dalam. Tak jarang pula dia menimpalinya, disitulah aku dibius untuk memasang telingaku lebar-lebar, kabut tersibak luruh, kudapati pemandangan seseorang dengan pola pikir yang sangat dewasa dan santun, aku dijejali dengan ribuan petuahnya, benar-benar malam yang tak akan terlupakan. Pertama kutahu betapa dia punya pesona yang potensial.. :P

Malam itupun air mataku mengering, senyum kembali tersungging biarpun baru kemarin malam pipiku deras oleh bening kristal dari mataku, tapi obrolan dengannya seakan mampu membangunkan kakiku untuk tetap tegak berdiri. Terimakasih Paul, untuk malam itu, ketika semuanya kembali berdentang menandakan kehidupan kembali.

Di satu malam yang lain.
Kamipun sering bersama menikmati gugurnya daun kering dari dahannya, tidak untuk bermain catur, tidak untuk meminum kopi ataupun untuk saling bercerita, tetapi sesekali kami hanya terhanyut diam disepinya jalanan aspal menjelang pagi, bergumul dengan angin ditengah kota ataupun berjalan dibawah hujan.

31 Juli 2008
Diamlah hatiku, karena dia berkata ”aku sayang kamu”

Agustus 2008
Diamlah hatiku, diamlah hingga pagi.

Aku telah berpikir tentang banyak hal sepanjang bulan yang bisu.
Aku mencari kesunyian sebab inilah kehidupan bagi jiwa dan pikiran.
Aku mencari rimba karena di sana aku menemukan cahaya matahari, harum bunga-bunga, serta melodi aliran sungai.
Aku mencari gunung-gunung sebab di sana aku menemukan musim semi, hasrat musim panas, lagu-lagu musim gugur dan energi musim dingin.
Aku datang ke suatu malam yang sunyi berharap dapat mengetahui jati diri, dan aku mencari kesendirian sebab aku letih dengan kepura-puraan.
Hingga dipenghujung bulan ini, kudapati tubuhku yang masih dengan sisa-sisa keletihan, terhenyak diatas kursi berukir cantik pada warung kopi disebuah kota terpencil diujung utara tanah jawa, ya, ditempat inilah aku menyepi untuk beberapa saat bersamaan dengan interview pekerjaan disebuah perusahaan bumn.

Untuk akhirnya aku kembali pulang ke Jogja dari sebuah kunjungan pelepas penat.

September 2008
Diamlah hatiku, karena dia berarti.

Siang hari diteriknya matari awal bulan september, aku didatangi oleh sepucuk surat panggilan kerja di sebuah perusahaan tempatku melamar, aku diterima kerja dengan jabatan menarik.
Kebimbanganku mulai memuncak antara meninggalkan Jogja beserta isinya untuk memulai sebuah kehidupan baru yang jauh dari sebelumnya, ataupun tetap dikota tuaku. Sekelebat bayangan kesunyian sepanjang malam menyelimuti mimpi.
Disinilah Tuhan menguji semua batas-batas keraguan dan kebimbanganku, malam menemaniku dalam pemikiran panjang dan Paul meyakinkanku bahwa kehidupan di Jogja tak kalah menarik kalau hanya untuk tujuan-tujuanku.
Aku kembali tertamu pada kesendirian, perenungan panjang dan pemikiran tak kunjung henti, aku berdiri ditengah lapangnya lamunanku menuju kota mati, kengerian pemandangan membutakanku dengan sebuah tabir gelap dan bodoh. Tiada hal yang terlihat selain bayangan kematian menakutkan yang berdiri diantara rindang pohon kamboja.
untuk akhirnya aku berkeputusan tetap berada di Jogja bersamanya.

Yah, Paul-lah yang telah meyakinkanku betapa malam tak akan pernah lelah datang dengan seribu wajah yang berbeda-beda. Semuanya punya cerita yang tak layak untuk aku lewatkan.
Entahlah ada kekuatan magis darimana, aku mempertimbangkan semua obrolan tiada henti dengannya, karier adalah salah satu tujuanku, tetapi kehidupan sosial juga tak kalah penting, dimana aku bisa terus memunggungi jalanan Jogja bersamanya.

Oktober 2008
Diamlah hatiku, aku akan bercerita.

Sekarang aku harus menjawab pertanyaannya satu persatu yang telah lama dia ajukan, dihari jadiku yang kesekian, aku sudah menemukan tambatan terakhirku – semoga, tanpa mau mendahului kehendak Tuhan – dan disinilah hatiku bersemayam damai, disamping dan dibelai lembutnya.
Kubayangkan lelaki tak ubahnya seperti gurun yang terbentang pasir seluasnya, tetapi dia selalu menghadirkan oase yang menyejukkan hati ditengah keletihan.
Disinilah aku berdiri, terdiam, dan menunggu pagi, bersamanya.

November 2008
Diamlah hatiku, karena dia milikku.

Aku mulai melukis sisi-sisi perahuku dengan beragam warna, kuning matahari, hijau musim semi, biru kubah cakrawala, merah senja nan muram dan tentu saja garis hitamnya malam. Layar dan dayungnya kuhias dengan gambar-gambar yang menakjubkan, menyejukkan dan menyenangkan pandangan.
Tak seorangpun bertanya apa yang kubawa dari samudera nan jauh, tak seorangpun tahu mengapa aku kembali dengan perahuku yang kosong ke pelabuhan, tapi dia selalu tahu tanpa harus kujelaskan, karena perahu ini memang aku siapkan untuk kurengkuh bersamanya mengarungi samudera lepas.
Kuyakin, terpaan badai dan ombak tak akan ada habisnya, tapi perbekalan kita sekarang bertambah banyak dan perahu kita semakin kokoh, niscaya kita akan sampai diseberang lautan dengan tangan tetap bergandengan dan berpaut.

12 Desember 2008
Selamat ulang tahun, Paul.
Coretan ini aku persembahkan untukmu.
Bangunlah, pagi telah datang….

5 komentar:

  1. Bobbyrastaman05 Mei, 2009 01:38

    Nice Story…….. we can hope but we can’t Stop…. Pegang erat cowo km…… berikan pelukan saat dia gundah….. biarkan dia berekspresi jangan pernah dihalau…… sandaran perlu juga buat cowo ktika dia merasa cape dalam berjalan di Rimba……
    GoodLuck For U & Him……..

    BalasHapus
  2. So sweet.. Sang dewi benar2 menulis dgn hati.
    Finally baca jga tulisan yg jd pebincangan td mlam...

    BalasHapus
  3. gilaaaa…

    bener2 hadiah ulang tahun yang harus disyukuri sama Mas Paul, cerpennya mantaf & yang bikin juga tak kalah mantaf..

    BalasHapus
  4. hiks….hiks….
    such a story…
    your’re the best,
    hopely he can be the best for you…
    tersenyumlah, seiring terbitnya mntari yang menghangatkan dirimu dipagi hari…
    semoga ini merupakan pelabuhan terakhirmu…

    BalasHapus
  5. aaaaaaaaw...
    hiihiiii jadi pengen malyuuu...
    (plaaaaak, timpuk pake sendal)

    ooopz, maaaciiiy maaaciiiiy...

    BalasHapus