15 Januari 2013

Ke mana perginya penulis muda Jogja?


Siapkan secangkir kopimu sebelum mulai membaca artikel ini.


Ah, setelah sekian lama tidak menulis. Akhirnya aku mau memantapkan hati lagi untuk rutin mengisi blog ini. Alhamdulillah ya punya niat mulia begini? :) Tapi FYI aja sih, buatku, sebulan sekali nulis di sini juga udah masuk kategori rutin. :)

Oke, kali ini aku mau nulis perihal keresahanku (jiah, resah!) tentang langkanya penulis muda Jogja.
Sebenarnya ini sudah lama mengusik ketenanganku, (Ohmaigad, bahasaku!). Dari sekian banyaknya buku yang sudah diterbitkan oleh penerbit Stiletto Book yang notabene berlokasi di Jogjakarta tercinta ini, baru dua judul buku yang ditulis oleh penulis Jogja dalam kurun waktu dua tahun. Itu pun karena aku yang nodong minta naskah, dan dua-duanya buku nonfiksi. Lalu, untuk buku fiksi macam novel? Stiletto belum punya novel yang ditulis oleh penulis Jogja.

Aku jadi ingat dengan sebuah diskusi di suatu sore yang cerah. Waktu itu, di acara "Jogja Book Fair" yang diselenggarakan oleh IKAPI-DIY, November 2012. Ada sebuah gathering yang menjadi ajang kumpul para pekerja buku di Jogja. Siapa pun boleh datang, mulai dari penulis, resensor, penerbit, sampai masyarakat umum yang memang sedang ada di lokasi acara.


Tapi lagi-lagi, aku pun tidak menemukan penulis muda (baca: penulis unyu) di acara ini. Kira-kira kenapa ya? Sampai diskusi dibuka, aku belum mendapatkan jawaban yang memuaskan. Masih menerka-nerka, apakah kaderisasi penulis di Jogja tidak berjalan dengan baik?

Diskusinya seru, karena pembicaranya pun tidak tanggung-tanggung, mulai dari resensor kondang macam Bp. Sumardiyanto (Kritikus sastra, penulis dan resensor), Bp. Muhidin M Dahlan (Penulis kontroversial, resensor dan pengamat sastra), Bp. Arif Doel (Pemilik sebuah penerbitan, pengamat sastra, dan penikmat rokok+kopi). Maafkan Pak Arif atas deskripsi saya ini. ^^ Dan satu pembicara lagi, maafkan karena aku lupa namanya.

Sebenarnya dari situ sih aku sudah mulai mikir, kenapa tidak mengundang penulis muda sebagai salah satu pembicara? Apa memang belum ada yang pantas duduk bergabung dengan bapak-bapak itu? Entahlah... Mari kita ikuti saja diskusinya.

Bp. Sumardiyono menganalogikan penulis senior (yaitu penulis yang menghasilkan tulisan-tulisan bermuatan serius) sebagai generasi penulis kapal selam. Maksudnya? Penulis pada zamannya, menurutnya, akan melakukan banyak hal sebelum mulai aktivitas menulis. Dari mulai riset, wawancara, baca banyak buku, dan seterusnya. Penggarapan bukunya pun tak kalah serius. Dari mulai proses editorial, desain cover, ilustrasi, dan seterusnya. Dengan penggarapan yang super serius itu, tak heran jika buku yang dihasilkannya pun berbobot dan tidak kacangan.

Jadi, maksudnya, penulis sekarang isinya tidak berbobot dan kacangan? Kataku, tentu saja dalam hati.

Nah, untuk penulis muda era sekarang, dia menganalogikan dengan generasi speed boat. Generasi penulis instan, bermodal follower lima ribu saja sudah bisa menerbitkan buku. Tidaklah mengherankan, menurutnya, jika buku yang ada sekarang juga terkesan main-main, tidak berkelas, dan cepat dilupakan orang, karena mereka adalah penulis karbitan. Maafkan jika banyak yang esmosi membaca ini. Demikian juga aku kemarin.

Ah, really, Pak? Bapak merasa seperti itu? Kataku, dalam hati lagi.
Sampai di sini, aku sudah tidak sependapat dengan beliau. Sebenarnya udah mau walk out dari diskusi tuh, tapi aku tahan-tahan, pengin memata-matai, apa yang mereka katakan selanjutnya. Hahaha. Lebay! Ah, ternyata diskusinya memang sangat seru. Banyak debat sana-sini, banyak yang urun rembug, dan Bapak Sumardiyono pun menglarifikasi bahwa tidak semua penulis muda sekarang adalah penulis karbitan. Namun, jika diprosentase, lebih banyak penulis instan dibandingkan penulis yang memang dari awal sudah berniat menjadi penulis sungguhan.

Zaman terus berkembang. Perubahan tidak bisa dilawan.
Kalau kita tidak menjadi bagian dari perubahan itu, maka kita akan tergilas.

Menurutku...
Eranya sekarang juga sudah beda. Dulu, membaca merupakan sebuah aktivitas yang sangat serius, bahkan ada istilah kutu buku untuk orang-orang yang suka baca, dan mereka malah seringnya jadi bahan olok-olokan teman-temannya. Namun, sekarang, kita bisa temukan cewek-cewek unyu membaca di mana-mana. Mulai dari halte trans, di kereta, atau di kedai kopi. Bukankah ini sebuah kemajuan yang patut disyukuri?

Dulu, penulis Jogja mengalami masa kejayaan. Banyak penulis-penulis yang besar di Jogja, sebut saja, Umar Kayam, Kuntowijoyo, Mukti Ali, Emha Ainun Nadjib, Y.B. Mangunwijaya, Sindhunata, dan masih banyak lagi. Bahkan penyair sekaligus wartawan F. Rahardi pernah menyebutkan bahwa pada 1970-an, Jogja merupakan kota terbanyak melahirkan penyair. Pada 1960 hingga 1970-an tercatat Rendra, Kirjomulyo, Darmanto Yatman, dan Sapardi Djoko Damono yang pernah tinggal di Jogja.

Dan selanjutnya, tahun 90-an, kita mencatat penulis-penulis baru yang lahir dari rahim Jogja, antara lain Indra Tranggono, Agus Noor, Puthut EA., Eka Kurniawan, Dwicipta, dll.

Tapi sekarang....
Masihkah Jogja melahirkan penulis-penulis kinclong seperti itu?
Oke, kalau penulis-penulis yang sering berseliweran di media massa memang masih banyak. Penulis cerpen di berbagai media, resensor, dan juga kolumnis-kolumnis, masih bisa banyak ditemukan. Jika mereka yang menulis di media massa akan dijadikan parameter, maka jawabannya... masih.

Tapi jika kita pakai parameter buku cetak, maka jawabannya...(sayang sekali) tidak.
Bahkan penulis-penulis buku best seller yang sekarang banyak menduduki rak di toko buku, sangat jarang penulis Jogja ikut eksis di sana? Kenapa?

Menurut saya sih, penulis Jogja cenderung menuliskan naskah-naskah “serius” seperti novel sastra yang berbau sejarah, kebudayaan, kumpulan cerpen dengan muatan berat, puisi, dan semacamnya. Sedangkan sekarang, eranya pop-writing, dan Jogja masih asyik dengan dunia sastranya.

Penulis senior di Jogja seolah mengondisikan iklim menulis di sini adalah tulisan-tulisan serius. Sehingga regenerasi penulis di Jogja cukup alot, karena memang sekarang bukan era kejayaan generasi kapal selam.

Hmm, pertanyaan saya sedikit mulai terjawab. Kenapa sekarang susah menemukan penulis-penulis muda di Jogja? Menurutku ada dua hal:

1.      Dengan doktrin generasi kapal selam versus generasi speed boat itulah penulis Jogja kemungkinan kurang PD jika akan berkarya. Takut dikritik dan menodai prestasi penulis Jogja masa lalu. Hahaha.
2.      Anak muda Jogja dituntut untuk menulis bergaya pop-writing mungkin mereka merasa kurang cocok. Penulis muda Jogja menuliskan novel chicklit dengan gaya elo-gue mungkin merasa tidak cocok. Menulis novel humor, mungkin merasa garing. Menulis buku life-style mungkin merasa kurang-cukup-modal. Makanya mereka memilih ngumpet.

Apakah benar seperti itu?


Ah, aku kok jadi geregetan ya? Pengin banget bikin komunitas penulis Jogja yang isinya anak-anak muda. Nanti bisa ngadain pelatihan nulis secara rutin, mengadakan diskusi-diskusi seru seputar buku, dan ya, ujung-ujungnya sih mereka mau mengirimkan naskah ke Stiletto Book. Ayolah penulis muda Jogja, Stiletto mencarimu... :)

Silakan jika ada yang tidak setuju, aku siap ngopi-ngopi denganmu untuk diskusi masalah ini.

29 komentar:

  1. Wahaahahhah... Digeret, culik trus dipaksa masuk camp konsentrasi pelatihan menulis novel unyu *jadi inget jaman Nazi, tapi ini hukumannya nulis*
    Pasti seru deh :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huahaha.... Beneran deh jadi pengin bikin pop writing camp di Jogja.

      Hapus
  2. Pak Iman Budi Santosa keknya, Mbak. Tadi juga orangnya ke sini, kalau mataku ndak sliwer hihihi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi, iya. Beliaulah orangnya, buku terbarunya aja kemarin aku pegang, "Ngudud, cara orang Jawa menikmati hidup". Maafkan saya Bapak Iman..

      Hapus
  3. Setuju Mbak, bikin aja, ntar aku ikut :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, iya. Nanti ya kalau jadi kuseriusin bikin programnya. Ini cuma kepikiran selintas doank kok. Makasih

      Hapus
  4. aku belum tahu, siapa saja penulis dari jogja yg punya genre teenlit. namun memang aku yakini, label jogja memang sastra serius-sentris.
    aku tidak setuju kalau kemudian yang diukur hanya karena 'buku cetak' yg harus nge-pop. jika survei ini untuk menaikkan pamor penerbit X yang bergenre pop semata seiring market dan segmen yang dilirik, penerbit X tidak boleh dong serta merta mematikan 'label jogja' yang dari dulu ajeg begitu.
    apa iya penerbit menulis 'petisi' seperti ini?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Di kalimat penutup, saya sudah siap jika ada pembaca yang tidak setuju dengan tulisan ini. Tapi yang pertama harus diluruskan, ini bukan "petisi penerbit" loh, saya nulis di blog pribadi, bukan blog penerbitan, ini hanya celoteh editor yang sedang mencari naskah.

      Anyway, justru wacana ini datang dari para penulis senior Jogja, Mas Husen. Mereka berempat yang jadi pembicara pada gathering pekerja buku November kemarin mengaku resah bahwa penulis Jogja sekarang seperti mandul karena sekarang jarang ditemukan buku-buku yang ditulis oleh para penulis Jogja generasi baru. Beda loh ya sama Generasi Biru, generasinya para Slankers. *plak*

      Saya sendiri tidak setuju jika dikatakan generasi penulis pop adalah generasi speed boat, penulis karbitan yang bukunya akan gampang dilupakan orang. Karena untuk menuliskan buku pop juga butuh perjuangan yang tidak kalah heroik. Jadi pendapat mereka pun menurut saya debatable.

      Kalau saya boleh tanya, penulis, selain karyanya, adalah tolok ukur yang dipakai untuk menilai produktivitas? Salahkah saya jika menggunakan tolok ukur "buku cetak" untuk menilai produktivitas penulis Jogja?

      Oia, yang harus digarisbawahi lagi sih, saya sedang mencari penulis muda Jogja. Menurut saya, penulis muda (baca: penulis unyu) kan ya identik dengan pop writing. Menurut saya loh, kalau njenengan tidak sependapat juga nggak apa-apa, hehehehe.

      Dan satu lagi, belum adanya buku pop yang diterbitkan oleh penerbit Stiletto bukan satu-satunya alasan saya membuat tulisan ini. Karena selama saya berkeliaran di toko buku paling tidak sebulan dua kali, sangat jarang ada buku pop yang ditulis oleh penulis Jogja.


      Ah, enak nih kayaknya diskusi sama Mas Husen ini... :))

      Jangan lupa, saya juga menuliskan kalimat ini looh...

      Masihkah Jogja melahirkan penulis-penulis kinclong seperti itu?
      Oke, kalau penulis-penulis yang sering berseliweran di media massa memang masih banyak. Penulis cerpen di berbagai media, resensor, dan juga kolumnis-kolumnis, masih bisa banyak ditemukan. Jika mereka yang menulis di media massa akan dijadikan parameter, maka jawabannya... masih.

      Ditunggu komen berikutnya *Nyruput Kopi*

      Hapus
  5. SETUJU. ditunggu info terbarunya ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Itu sih cuma selintas aja terpikirkan bikin pop-writing camp. Tapi bolehlah nanti diseriusin kalau ada waktu. Thx ya.. Btw, blog-nya keren!

      Hapus
  6. Iya, nulis pop semisal chicklit dan teenlit itu susah banget. Instan? karya pop banyak sekali yang penulisannya gak instan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju, Va. Nggak gampang nulis chicklit yang renyah itu, kan? Takutnya malah jadi garing karena maksa.

      Tapi memang banyak juga fenomena selebtwit yang kemudian nulis buku. Jadilah mereka penulis speed boat (pinjam istilah si bapak). Tapi kalau bukunya bagus sih it's okay.

      Hapus
    2. numpang nimbrung yaa mba hee,
      masalah selebtwit itu aku setuju, lagi merajalela malah :D

      Hapus
  7. Wahaha.... baru tau kalo penulis Jogja jarang, aku Jogja nih, bikin naskah ah, semoga berkenan, hihuihuhu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hey Ren, emang iya, kan? Coba di antara koleksi bukumu yang di rumah itu, ada berapa buku yang ditulis oleh penulis Jogja? :)
      Siiiiip, naskahnya ditunggu yaaaa....

      Hapus

  8. Terima kasih atas jawabannya mbak Dewi.
    Sejauh ini, aku memang belum kenal dengan penulis muda Jogja yang ngelaunching buku novel pop-nya, aku belum kenal sama sekali.
    Terkait Penulis Muda Jogja yang diresahkan oleh Editor Penerbit seperti Mbak, mungkin tidak lebih tepat kalau berstatemen dengan kalimat begini: saya sedang mencari penulis muda Jogja. Menurut saya, penulis muda (baca: penulis unyu) kan ya identik dengan pop writing. Pertanyaannya: pop writing haruskah ditulis oleh penulis unyu?
    Aku pikir, tidak harus. Selagi, semangat masih muda, meskipun ia berusia menginjak kepala tujuh. Ia tetap penulis novel pop writing.
    Apabila ‘kegundahan’ atas nama Editor semacam ini, maka ini aku duga semacam ‘ribut-ribut kecil’ saja, sebab Jogja yang sastra serius-sentris tidak ujug-ujug bim salabim dapat dirubah jadi unyu-sentris yang pop writing abis...
    Penulis senior yang lahir dari rahim jogja memang sudah wara-wiri langganan penerbit nasional, best seller dan digandrungi oleh anak muda Indonesia. Jika dalam diskusi yang Mbak Dewi ikuti dengan dihadiri ‘penulis senior’ sekaliber Sumardiyanto, Muhidin M Dahlan dan Arif Doel (saya kutip dari posting di atas), kemudian mereka ‘resah bin galau’ atas fenomena ini, mungkin saja ini berkaitan dengan brosur ‘pencarian bakat’ penulis muda Jogja yang unyu-unyu.
    Pop writing, memang sangat diminati oleh penerbit, karena pangsa pasarnya menjanjikan, income, share per eksemplar memang bikin ngiler. Belum lagi, anak muda Indonesia dari penduduk 200 jutaan mulai tumbuh... ini berbicara pasar dan segmentasinya terhadap terbitan buku cetak novel pop.
    Bagiku, pop writing sah-sah saja dirilis dan dijadikan platform kepada penulis unyu. Namun, mengumumkan ‘pencarian bakat’ semacam ini, tentu saja, ini jargon yang mudah terpeleset. Karena, sekali lagi, Jogja memiliki segudang penulis dari pelbagai latar belakangnya. Sekalipun, pop writing marak dijunjung tinggi oleh penerbit, tapi, itulah Jogja: sastra serius-sentris memiliki tempat di hati pembacanya.
    Mbak Dewi, serius banget sih bacanya? Hehehe...
    *ngopi dulu dong! Nih, kubuatin kopi robusta. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallo Mas Husen, hati-hati loh jangan asal bikin statement.
      Mas Husen harusnya bisa lihat bahwa ini tulisan di blog pribadi, dengan label tulisan "Celoteh Editor". Sangat jauh berbeda dengan yang dikatakan Mas Husen, yang melabeli tulisan ini dengan "Pengumuman Ajang Pencarian Bakat." Bisa-bisa saya ditimpuk para warga Jogja nanti. :)))

      Oia, benar sih kalau pop-writing itu tidak identik dengan penulis muda, bisa jadi ditulis oleh penulis setengah baya (ya, meskipun gak tua-tua amat) asal masih berjiwa muda. Tapi yang jelas, penulis muda akan selalu in fashion dengan semua kebaruan, update dengan aneka informasi. Jadi, pasti akan lebih mudah menulis bergaya pop-writing.

      Hmm, berarti memang tak semudah membalikkan telapak tangan ya untuk mencari penulis muda Jogja yang unyu-sentris (meminjam istilahmu) di tengah penulis-penulis sastra di Jogja. Itulah kenapa kita susah menemukan buku-buku cetak di toko buku yang ditulis oleh penulis muda Jogja.

      Bicara kejayaan penulis-penulis besar Jogja yang sudah sering mencetak buku best seller, saya juga sangat setuju. Tidak ada yang meragukan lagi kalau Jogja itu gudangnya penulis bagus, sastrawan, seniman, kritikus sastra, resensor, dan seterusnya.

      Tapi yang jadi tema utama ditulisan saya ini kan penulis muda dengan gaya pop-writing yang memang masih sangat langka.

      Beberapa waktu lalu, ketika saya pengin bikin event menulis, saya agak kesusahan mencari penulis yang akan jadi pembicara. Karena para pembaca Stiletto (usia berkisar 17-30 tahun) ketika saya sebutkan penulis-penulis macam Putut EA, Agus Noor, Herlina Tiens, dll mereka banyak yang tidak tahu, menyedihkan toh? Ini para pecinta buku yang tinggal di Jogja loh, Mas.

      Makanya niat membuat workshop menulis itu jadinya saya pending karena masih bingung mencari pembicara. Ah, semoga nanti Stiletto bisa melahirkan penulis muda bergaya pop-wrting yang digandrungi oleh pembaca-pembacanya, amiiiiiiiiiin.

      Hapus
  9. ayoo mbak bikin :) aku bakalan jadi pendaftar pertama :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, siiip. Kita kumpulin massa dulu yaa...

      Hapus
  10. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  11. aku paham kok Mbak Dewi, apa yg menjadi keresahanmu. ya, semoga bakal menarik, kalau Jogja melahirkan penulis muda yang punya novel pop, dan diterbitkan di Stiletto.
    aku menunggu celotehan berikutnya ya mbak.. hehe..

    BalasHapus
  12. saya juga suka menulis mbak tp saya dr bandung :)

    BalasHapus
  13. saya termasuk generasi sastra yang pengin nongol di era sekarang dengan karya yang bisa berevolusi. mau mbak, bikin komunitas penulis jogja *angkatcangkir*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, mantap! Ayolah kirim naskah ke Stiletto Book kalau gitu, siapa tahu kita bisa angkat cangkir bareng-bareng tiap siang nantinya :)

      Hapus
  14. Stiletto Book? sebenernya aku baru garap beberapa Novel tapi mau ngirim ke Penerbit tuh Takut kak Senior, takut ga berkualitas.

    BalasHapus
  15. Mas bisa minta alamat kengkap penerbit Stiletto book itu. Mau kirim naskah

    BalasHapus
  16. Komunitas Penulis Muda? Waah, keknya asyik tuh, tapi aku udah nggak muda lagi OMG

    BalasHapus