08 September 2009

Kupingku Dijewer Si Bapak

Tak sengaja mataku menangkap siluet seorang bapak-bapak yang kalo aku taksir umurnya sekitar 50 tahun. Dia sedang tertidur, bersandar pada pagar di seberang rumahku. Sepeda ontel yang memuat sebuah kursi rotan besar bertengger di sebelahnya.

Aku masuk ke rumah untuk meneruskan aktivitas memasak nasi goreng, tapi pikiranku tak bisa beranjak dari si bapak. Setelah selesai, aku mematikan kompor dan segera mendatanginya. Matanya masih terpejam. Lelap.

Suasana hiruk-pikuk di luar tidak mampu membangunkan tidur si bapak. Aku memberanikan diri mengusik tidurnya. Bapak itu masih terlelap ketika panggilan yang ketiga kali pun tak kuasa membangunkannya.

Aku tunggu sampai beberapa menit.
Kupandang kerutan di wajahnya dan handuk yang melingkar di leher. Aku trenyuh. Kutepuk pundaknya dan akhirnya bapak itu mengangkat kepala yang -mungkin- terasa berat.

"Sudah makan, Pak? Mari Pak mampir ke rumah, saya baru saja goreng nasi..." kataku yang disambut dengan senyum sumringahnya.


Sesampainya di meja makan, kulihat si bapak dengan sigap melahap makanan yang aku sajikan; sepiring nasi goreng dan teh hangat.

Aku: "Dagangannya udah laku belom, Pak?"
Bapak: "Sudah satu Mbak, tadi bawa dua."
Aku: "O... Bapak bikin sendiri apa ngambil dari orang lain?"
Bapak: "Saya cuma ngambil, Mbak.."
Aku: "Terus, Bapak dapat untung berapa buat satu kursinya?"
Bapak: "Ya, paling banyak sepuluh ribu"

Glek.
Tiba-tiba tenggorokanku seperti tersedak nasi. Sepuluh ribu? Bukankah itu uang yang biasa aku habiskan untuk sebungkus rokok saja? Batinku...

Kemudian kami ngobrol ngalor-ngidul ke sana-kemari.
Ketika si bapak pamitan pulang, tak lupa aku selipkan selembar uang ke sakunya. Tidak seberapa memang, tapi aku sampai tak kuasa menerima ucapan terima kasih-nya disertai jabatan tangannya yang erat, hangat dan berkeringat.

Kupandang bapak itu mengayuh sepedanya menerobos riuh rendahnya malam selepas shalat tarawih. Kulihat sampai sepeda si bapak menikung di ujung jalan. Aku kembali menekuri segelas kopi di meja tempat kami makan. Kulihat piring bekas makannya yang mengilap bersih tanpa sisa.

Untuk dua puluh ribu sehari, bapak itu mengayuh sepeda sepanjang siang, bahkan terkadang sampai malam menjelang. Ah Bapak... sampeyan sudah menjewer sebelah kupingku malam ini.

Terima kasih, Pak... Semoga sabar menjalani semuanya, amin.

5 komentar:

  1. slalu punya pengalaman yg menarik, two thumbs up wi, kapan ke bdg?

    BalasHapus
  2. dewi yang peduli, selalu (cetak tebal) ingin berbuat baik bagi sekitar. the real sexy girl.
    tetaplah seperti itu, karena dunia jadi indah oleh orang-orang sepertimu.

    nb.
    mulai besok klo mo beli rokok inget bapak itu ya... (huadowhhh??)

    BalasHapus
  3. read it, like it..

    BalasHapus
  4. tulisanmu mencolok mripatku...sampe berkaca2...MANTABH!! sukses nulis teruuuus rasah turu cik...yang penting dagangan laku, OKEH?

    BalasHapus
  5. so switttt tantequw ini...

    BalasHapus